Gerakan “Kartini” Kendeng dalam Menolak Bencana Ekologis

ilustrasi kartini kendeng, Foto: Dok. pwypindonesia.org
Ekspedisi Jawadwipa

Pada 21 April tiap tahunnya, perempuan-perempuan Indonesia merayakan hari Kartini sebagai bagian dari peringatan lahirnya emansipasi perempuan Indonesia. Peringatan hari Kartini ini sendiri ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, bertepatan dengan hari lahirnya yang jatuh pada tanggal dan bulan yang sama. Keputusan ini ditandatangani oleh presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 2 Mei 1964, yang juga memuat penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Menjadi hal yang tidak biasa memang kala itu, Kartini seorang perempuan Jawa yang berasal dari Jepara, hidup dengan berbagai tradisi, ia ingin menempuh pendidikan sekolah dasar di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar Eropa pada tahun 1885. Kala itu, anak perempuan tidak boleh masuk sekolah dan keluar rumah. Perlawanannya ini untuk mengurai tradisi agar tetap boleh menempuh pendidikan inilah, yang kini dikenang sebagian besar perempuan Indonesia, agar berani melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.

Dalam permasalahan gender saat ini meskipun tak dipungkiri kesenjangan gender mulai terkikis, bukan berarti tidak ada sama sekali permasalahan yang menimpa perempuan. Bagi perempuan Kendeng, Jawa Tengah, perjuangan Kartini melawan ketidaksetaraan harus diteruskan.

Gerakan “Kartini” Kendeng dalam Menolak Bencana Ekologis

Jika di abad ke-19, Raden Ajeng Kartini sebagai sosok perempuan mencoba mendobrak jurang ketidakadilan terhadap perempuan dalam konteks pendidikan, maka di abad ke-21 perempuan Kendeng mencoba melawan ketidakadilan terhadap lingkungan yang sudah dianggapnya sebagai ibu.

“Ibu bumi wes maringi, ibu bumi dilarani”. Senandung yang dinyanyikan oleh orang-orang Kendeng yang berarti “Ibu bumi yang sudah memberi, dan ibu bumi yang disakiti”. Mereka menganggap bumi dan lingkungan adalah sosok ibu yang menggambarkan perempuan, dan bumi sebagai simbol perempuan ini pula yang disakiti atau dirusak.

Pada saat ini, sosok pahlawan yang satu ini juga dilekatkan pada sembilan orang pejuang lingkungan Kendeng Utara yaitu Sukinah, Sutini, Karsupi, Ambarwati, Surani, Deni, Mutini, Ngadinah, dan Giyem. Mereka melakukan aksi menyemen kedua kakinya sebagai protes kepada pemerintahan Jokowi atas pendirian pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Rembang pada 2014.

kartini
Ilustrasi Protes Kartini Kendeng, Foto: dok. blog.witness.org

Perlawanan ini dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan alam, terutama pegunungan Kendeng Utara, tepatnya Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih, Kecamatan Gunem, Rembang. Pegunungan Kendeng bagi masyarakat adalah tanah yang subur, penghasil air dan penjaga dari bencana alam. Jika ekosistemnya terganggu maka banyak kehidupan yang mengalami kepunahan, tidak ada lagi warisan kesuburan alam yang diteruskan pada generasi selanjutnya.

Perempuan paling peka dan paling terdampak akibat kerusakan alam yang terjadi. Terbiasa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan air bersih dan mendapat sandang, pangan, papan dari alam, membuat merekalah yang akan paling berdampak atas kerusakan alam yang terjadi.

Baca juga: Potret Pemimpin Perempuan dalam Penanggulangan Bencana

Para Perempuan Kendeng ini juga merupakan simbol gerakan perempuan yang terinspirasi dari semangat Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan lingkungan. Mereka menentang eksploitasi sumber daya alam dan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan yang tidak melibatkan perempuan. Dengan semangat seperti ini, para perempuan Kendeng melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan atas kerusakan lingkungan yang berdampak pada bencana ekologis, hal ini menjadi contoh bagi gerakan perempuan lainnya di Indonesia.

Penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah

Sumber: