Banyaknya pendaki yang mengikuti Trend naik gunung seusai liburan nampaknya kini sedang digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Adanya keyakinan bahwa mendaki gunung merupakan sarana healing yang paling tepat, membuat berbagai gunung Indonesia mulai ramai didatangi mulai dari ketinggian bukit dibawah 1.000 Mdpl hingga gunung-gunung yang menjulang tinggi diatas 3.000 Mdpl seperti Gunung Ciremai, Sindoro, Sumbing atau Gunung Slamet.
Libur lebaran mungkin adalah momen yang tepat bagi para masyarakat untuk melakukan aktivitas ini, jangka libur yang panjang menjadi pertimbangan besar.
Menurut TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai) ada sekitar 4.888 orang yang mendaki Gunung Ciremai pada periode lebaran 2025, sedangkan di Gunung Gede-Pangrango setiap libur lebaran tiba gunung ini dijuluki sebagai “pasar” karena penuhnya pendaki yang hilir mudik datang ke kawasan Gunung Gede atau Pangrango.
Lonjakan Pendaki saat Liburan, Serta Dampaknya Pada Kelestarian Alam

Sebenarnya potensi peningkatan pada kawasan wisata alam serta wilayah konservasi alam sudah disadari oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada rapatnya menjelang lebaran 2025. Saat itu Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, memberikan arahan kepada seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) melalui virtual meeting. Arahan tersebut mencakup enam aspek utama, yaitu pengaturan daya dukung dan daya tampung, penerapan pembayaran non-tunai (cashless payment), penanganan dan pengelolaan sampah, keamanan dan keselamatan pengunjung, pengaturan piket atau penjagaan, serta penutupan kawasan.
Daya tampung dan daya dukung wisata alam inilah yang seharusnya menjadi perhatian lebih bagi pengelola wisata agar pengunjung tidak membludak dan antisipasi pada keamanan apabila terjadi keadaan darurat, mengingat gunung dan wisata alam mempunyai resiko tinggi dari sisi kebencanaan alam yang bisa kapan saja terjadi.
Dalam konteks membludaknya jumlah masyarakat yang mendaki di berbagai Gunung di Indonesia, sebenarnya juga terdapat kekhawatiran yang besar akan tetap terjaganya kelestarian alam. Bukan rahasia umum lagi bahwa kebanyakan gunung Indonesia telah banyak jejak sampah yang ditinggalkan oleh para pendaki. Meskipun beberapa gunung juga telah menerapkan sistem sortir sampah ketat saat sebelum naik dan sesudah turun gunung seperti yang dilakukan di Gunung Kembang, Wonosobo.
Keresahan lain tidak terjaganya lagi ekosistem di gunung adalah akibat patok-patok tenda pendaki yang sering kali menutup tumbuhnya tumbuhan-tumbuhan endemik gunung tinggi seperti bunga edelweis, tingginya jumlah pendaki semakin potensial juga menutupi area-area berkembangnya bunga abadi ini.
Baca juga: Gunung Tampomas: Merawat Memori Lewat Dongeng
Lonjakan jumlah pendaki saat libur Lebaran sejatinya menjadi momentum penting untuk menyadarkan semua pihak baik pengelola kawasan, pemerintah, maupun para pendaki sendiri akan urgensi menjaga keseimbangan antara pariwisata dan konservasi. Ketika ribuan orang memadati jalur pendakian, tekanan terhadap ekosistem pun semakin nyata. Tidak hanya soal tumpukan sampah, tetapi juga potensi rusaknya vegetasi langka, terganggunya satwa liar, dan erosi jalur akibat lalu lintas pendaki yang berlebihan. Situasi ini memperlihatkan dilema besar antara geliat wisata alam dan kerentanan lingkungan yang mengintai.
Penulis: Kori Saefatun
Editor: Nugrah
Referensi: