“Pelokalan” Menghargai Keberagaman

ilustrasi keberagaman di Indonesia
Ekspedisi Jawadwipa

Pelokalan yang diusung dalam Grand Bargain pada 2016, tampaknya tidak memunculkan definisi utuh terkait pelokalan sehingga terjadi perbedaan mulai muncul antara visi yang ditetapkan oleh organisasi lokal, dan visi yang dianut oleh lembaga donor besar dan LSM internasional.

Meskipun dalam kedua belah pihak tidak mendapat definisi yang sama namun hal yang pasti menjadi perhatian adalah terkait pentingnya aktor lokal berperan dan bagaimana organisasi/lembaga tepat sasaran dalam pengalokasian donor.

“Pelokalan” Menghargai Keberagaman

pelokalan
ilustrasi keberagaman dan toleransi

Hal ini tentu perlu kajian khusus, terutama mengingat Indonesia merupakan negeri yang beragama suku, budaya dan bahasa. Dengan potensi bencana yang cukup besar, jika dihitung dalam skala global maka indonesia ada diperingkat 38 dari 181 negara rawan bencana alam. Maka atensi penanggulangannya baik pra, saat maupun pasca tentu sangat dilihat oleh negara-negara lain.

Berdasarkan beberapa kondisi di atas peran aktor lokal menjadi sangat dibutuhkan, keragaman bahasa dan budaya hanya bisa dipahami jika memang benar-benar menyelaminya, butuh waktu yang cukup lama, sedang bencana harus dapat ditangani sesegera mungkin.

Kondisi ini yang memungkinkan untuk aktor lokal dapat bekerja dari proses perencanaan, penanganan hingga evaluasi. 

Pelokalan mendukung semua orang berperan di regionalnya masing-masing, banyak mitra dan aktor yang akan terlibat, sehingga budaya gotong-royong masyarakat Indonesia yang terkenal, dijunjung kembali. 

Sederhananya dapat dipahami bahwa, masyarakat Indonesia punya banyak ragam pangan yang berbeda-beda di setiap wilayahnya, Sorgum untuk wilayah Nusa Tenggara, Beras untuk Jawa serta Sagu untuk Papua. Saat terjadinya bencana tanpa tahu puluhan kardus mie instan datang dengan harapan menjadi makanan darurat, namun pertimbangan gizi dan kecocokan dengan sistem pencernaan masyarakat kurang dipertimbangkan.

Pelokalan diharapkan hadir memutus penyeragaman dalam pola pemberian bantuan, melestarikan tradisi dan budaya lokal, dan menggali setiap kearifan yang berkaitan dengan survive bencana dari generasi ke generasi. 

Baca juga: 4 Hambatan “Pelokalan” Lembaga Kemanusiaan di Indonesia

Bencana memanglah situasi darurat namun darurat bukan alibi untuk menggeser kebudayaan alami masyarakat setempat. Pelokalan mendukung semua untuk mandiri dan bertahan dari bencana dengan pengetahuan dan caranya masing-masing.

Penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah Aryatama