Asma, Bisa Menjadi Epidemi di Lingkungan yang Tidak Mendukung

ilustrasi penyakit asma
Ekspedisi Jawadwipa

Hari asma sedunia diperingati setiap selasa pertama di bulan Mei, yang pada tahun ini diperingati pada 06 Mei 2025 yang diinisiasi oleh Global Initiative for Asthma (GINA), sebagai bentuk dari peningkatan kesadaran akan penyakit ini yang terjadi di dunia.

Asma merupakan kondisi kronis yang menyerang saluran pernapasan dan ditandai oleh adanya peradangan serta penyempitan saluran tersebut. Pada individu yang menderita penyakit ini, saluran pernapasan menjadi sangat peka terhadap berbagai pemicu seperti alergi, udara dingin, polusi, maupun aktivitas fisik.

Paparan terhadap pemicu ini dapat menyebabkan peradangan, yang berujung pada pembengkakan, peningkatan produksi lendir, serta penyempitan otot-otot di sekitar saluran napas. Hal ini membatasi aliran udara dan menimbulkan gejala seperti nafas pendek, batuk, dan bunyi mengi. Asma dapat dialami oleh siapa saja, tanpa memandang usia. Walaupun penyakit ini tidak bisa disembuhkan sepenuhnya, pengelolaan yang tepat memungkinkan penderitanya untuk tetap menjalani hidup yang aktif dan sehat.

Asma, Bisa Menjadi Epidemi di Lingkungan yang Tidak Mendukung

Dalam survei kesehatan Indonesia pada tahun 2023, mencatat bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan prevalensi asma tertinggi di Indonesia dengan 156.977 kasus, hal ini didorong oleh kepadatan penduduk serta polusi udara akibat industri dan urbanisasi.

Banten menyusul dengan 38.751 kasus, juga dipengaruhi oleh pertumbuhan industri dan urbanisasi. DKI Jakarta menempati posisi ketiga dengan 33.552 kasus, terutama disebabkan oleh polusi dari lalu lintas dan aktivitas industri. Sementara itu, Papua Selatan mencatat kasus terendah dengan 1.684 kasus.

Asma juga sangat erat kaitannya dengan polusi udara yang terjadi. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa polusi udara, baik di dalam maupun luar ruangan, berkontribusi terhadap meningkatnya kasus asma dan penyakit alergi, yang diperparah oleh pemanasan global.

asma
Ilustrasi Lingkungan dan hal yang dapat memicu penderita asma kambuh

Kawasan Asia-Pasifik, sebagai wilayah terpadat, menghadapi beban besar dari berbagai polutan seperti PM2.5, PM10, CO, O₃, NO₂, dan polusi rumah tangga seperti asap biomassa dan tembakau. Peningkatan urbanisasi, polusi udara, dan perubahan iklim dalam beberapa dekade terakhir menjadi faktor utama naiknya prevalensi penyakit alergi di wilayah Indonesia.

Artikel yang ditulis oleh Ruby Pawankar dan kawan-kawan yang berjudul Asia Pacific Association of Allergy Asthma and Clinical Immunology White Paper 2020 on climate change, air pollution, and biodiversity in Asia-Pacific and impact on allergic diseases, menjelaskan bahwa beberapa negara di Asia Pasific seperti Indonesia menghadapi beban tambahan berupa kabut asap yang dihasilkan di beberapa wilayah seperti Pulau Sumatra dan Kalimantan, yang menyebabkan lonjakan polusi dan risiko kesehatan, termasuk peningkatan penyakit asma.

Baca juga: Malaria Endemis Papua Hingga Cerita Pram

Berbagai faktor lingkungan dapat menyebabkan potensi penyakit ini di Indonesia dapat meningkat, mulai dari polusi udara hingga kebakaran hutan dan lahan. Pengobatan asma yang harus konsisten dan rutin dijalankan menjadi perhatian khusus pada peringatan hari asma tahun ini, “Make Inhaled Treatments Accessible for ALL”  atau memastikan pengobatan inhalasi dapat diakses oleh semua kalangan, menjadi tema yang digolongkan pada tahun ini. Hal tersebut karena keprihatinan atas masih besarnya kesenjangan dalam ketersediaan dan keterjangkauan pengobatan, terutama di negara-negara berkembang.

Penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah