Warisan Peradaban Kuno di Sulawesi Tengah

Batu Megalitikum di Sulawesi Tengah, Sumber: Denny Sugiharto
Ekspedisi Jawadwipa

Gempa yang mengguncang Poso beberapa hari lalu sebenarnya tidak mengagetkan. Wilayah ini dilalui oleh sebuah sesar gempa aktif yang dikenal dengan nama sesar Palu-Koro. Selama ribuan tahun, berbagai peradaban silih berganti mendiaminya. Kerawanan yang tinggi terhadap gempa membuat kita mesti menengok kembali wilayah ini sembari menggali kearifan-kearifan dalam hal penanggulangan bencana dari masa lalu dan memetik hal- hal baik yang relevan untuk kemaslahatan masa kini. Dan di atas semua itu: menjaga keselamatan manusia beserta warisan peradaban di sekitarnya.

Propinsi Sulawesi Tengah terdiri dari 12 suku bangsa yaitu Kaili, Pamona, Saluan, Banggai, Pipikoro, Napu-Bada, Mori, Bungku, Tomimi, Toli-Toli, Buoi, dan Balantak. Setiap suku bangsa tersebut menyebar dan mendiami wilayah geografis yang berbeda seperti pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi.

Dari 12 suku bangsa tersebut 5 diantaranya terlintasi sesar aktif Palu Koro, yaitu peradaban suku bangsa Kaili, Pamona, Pipikoro, Napu-Bada, dan Toli-Toli. Keanekaragaman wilayah sebaran pemukiman mencirikan arsitektur rumah tradisional yang berbeda-beda menjadi identitas budaya dan jejak peradaban pada masa lalu. Miniatur bangunan rumah tradisional di pesisir pantai, lembah dan dataran tinggi berbeda-beda dan dapat dilihat di museum daerah.

Warisan Peradaban Kuno

peradaban
Ilustrasi Rumah Tahan Gempa Suku Kaili, Sumber: palu.tribunnwes.com

Semua rumah tradisional merupakan rekonstruksi bangunan tahan gempa dan adaptasi dengan lingkungan alam yang ditempatinya. Saat ini jarang ditemukan masyarakat yang masih mempertahankan rumah tradisonal sebagaian sudah berganti dengan kontruksi rumah gaya modern. Namun suku bangsa Kulawi masih mempertahankan tradisi budaya dan arsitektur tradisional yang disebut rumah adat Lobo.

Ikhsam, wakil kepala museum daerah Provinsi Sulawesi Selatan, menyampaikan bahwa persepsi gempa diyakini oleh masyarakat tradisonal ada dua, yaitu gempa kecil ditandai sebagai tanda leluhur akan datang dan tanda memperkuat tulang bumi, sedangkan gempa dengan kekuatan besar ditandai sebagai bentuk cobaan atau ujian dan sarana intropeksi diri, yang kemudian disusul dengan menyelenggarakan ritual atau upacara adat Linu.

Upacara adat Linu atau gempa bumi dilaksanakan sesudah terjadi gempabumi, karena adanya kepercayaan bahwa penguasa tanah menjadi marah akibat perlakukan manusia yang tidak baik. Ritual yang dilakukan oleh suku Kulawi pada masa lampau merupakan pemujaan terhadap Karampua Ntana (penguasa tanah) dan Karampua Langi (penguasa langit), dengan tujuan memohon perlindungan dari malapetaka dan sebagai ucapan syukur atas perlindungan yang diberikan oleh dewa – dewa. Ritual tradisi ini masih dipelihara hingga saat ini terakhir gempa 2012, seluruh warga yang merasakan gempa khususnya Kulawi menggelar upacara adat Linu.

Persepsi lain yang berkembang selain gempa sebuah peristiwa alam yang mendatangkan bencana, bagi warga di sekitar Danau Lindu disyukuri sebagai berkah. Gempa dengan kekuatan M 6,2 SR pada 18 Agustus 2012, menggoncang kuat dan dekat pusat gempa, mendatangkan berkah karena akses jalan menjadi tersambung yang sebelumnya tidak dapat terakses karena masuk dalam kawasan Taman Nasional.

Menurut Nurdin, salah seorang tokoh adat di situ, setelah jalan dibangun perkembangan desa menjadi pesat, akses kendaraan beroda empat dapat melintas dan akses jaringan telekomunikasi. Pendapat lain dari saksi hidup, seorang warga di Donggala, Ibu Erna (usia 65 tahun) menceritakan pengalaman gempa besar yang pernah dialami semasa hidupnya, terjadi pada malam hari hampir seluruh warga di pantai lari menuju bukit dan bermalam hingga esok pagi. Waktu kejadian tidak dingatnya dengan persis tapi teringat tahun 1996 saat anaknya lahir dan data sejarah kejadian gempa mencatat tahun yang sama yaitu 1996 tejadi di pantai Barat dengan kekuatan M. 7,6 SR.

Selain peristiwa gempa lokal yang dialami, peristiwa tsunami 2004 di Aceh juga membawa perubahan wawasan tentang kebencanaan bagi seluruh warga perisir pantai di Indonesia, khususnya bagi Sulawesi Tengah. Karena Berselang 20 hari dari kejadian tsunami Aceh terjadi gempa yang cukup besar dengan kekuatan M 6,4 SR sebagian warga pesisir mengira gempa akan disusul tsunami seperti yang mereka saksikan tsuami Aceh melalui berita televisi.

Persepsi dan pengetahuan masyarakat berdasarkan cerita rakyat atau mitologi, serta pengalaman kejadian bencana yang pernah dialami langsung atau diceritakan kembali secara turun temurun, perlu ditelusuri lebih mendalam. Jejak pengetahuan lokal tentang gempa selama survei awal ditemukan jejak pengetahuannya, namun untuk tsunami masih perlu pendalaman khususnya diwilayah pesisir barat Sulawesi Tengah.

Sesar aktif Palu Koro tidak banyak dikenal keberadaannya oleh masyarakat setempat saat ini, namun rekaman jejaknya masih tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat pendahulu dan bukti peradaban yang sebagian sudah ditinggalkan. Ekspedisi Palu-Koro yang akan dilaksanakan pada Agustus-September 2017 bertujuan membangunkan kembali ingatan, sejarah peradaban, dan kesiapsiagaan akan ancaman sesar Palu-Koro yang menurut para ilmuwan sudah jatuh tempo siklus pengulangannya. ***

Kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat. Mata pencaharian masyarakat di Lembah Bada pada umumnya petani, pegawai negeri, dan wiraswasta. Sepanjang perjalanan menuju situs dari desa Pada terlihat hamparan kawasan persawahan dan perkebunan kakao atau coklat.

Baca juga: Tina Ngata, Pemimpin Perempuan Bersahaja Asal Kulawi

Sebaran situs-situs megalitik terpusat di kawasan Lembah Lore, yang menyebar ke wilayah Lembah Bada, Lembah Napu dan Lembah Besoa. Iksam seorang Arkeolog yang telah lama melakukan penelitian arkeologi dan sebagai wakil museum daerah Provinsi Sulawesi Tengah, menjelaskan bahwa usia situs-situs megalitik variasi antara 2000 – 4000 tahun yang lalu. Lembah Bosua memilki ketinggian 1200 mdpl dan usia situs berkisar 3000-4000 tahun yang lalu. Sementara Lembah Bada dan Lembah Napu memiliki ketinggian sekitar 1000-1200 mdpl, memiliki usia berkisar 2000 tahun yang lalu. Selama perjalanan menelusuri situs-situs megalitik tim didampingi oleh Syarif (staf pemandu dari dinas periwisata dan kebudayaan).

Berikut jenis-jenis bentuk situs megalitik dari Lembah Bada, antara lain:

  1. Arca Menhir merupakan patung atau arca yang biasanya dibuat menyerupai bentuk manusia, walaupun penggambarannya berbeda-beda. Ada yang secara utuh dari kaki hingga kepala, badan hingga kepala, dan yang hanya bagian kepalanya saja. Bagian wajah tergambarkan bagian mata, hidung, mulut dan telinga. Gender sebagian arca menhir dapat diketahui jelas jenis alat kelaminnya. Umumnya arca menjir dibuat untuk kepentingan pemujaan terhadap arwah leluhur, dan sebagai perwujudan dari arwah nenek moyang yang telah meninggal. Penggambaran bagian tubuh dimaksudkan untuk menghindari pengaruh jahat.
  2. Kalamba merupakan peninggalan megalitik yang khas berbentuk silinder. Pada umumnya kalamba terdiri dari dua bagian yaitu bagian wadah dan penutup. Wadah merupakan bongkahan batu besar yang sengaja dibentuk bulat lonjong dengan lubang dibagian tengahnya. Pada bagian tutup kalamba berbentuk bulat melingkar dan terdapat tonjolan dibagian tengah. Sebagian Kalamba di Lembah Bada tidak ada penutup, dan sebagian pecah
  3. Batu dakon merupakan sebuah batu yang biasaya berbentuk tidak beraturan meskipun terkadang berbentuk bulat, lonjong atau bentuk lainnya dimana terdapat lubang pada bagian permukaannya. Jumlah lubang bervariasi mudari dari satu hinggah berjumlah banyak dan pada umumnya berbentuk bulat tetapi juga ditemukan dalam bentuk lain seperti persegi, lonjong atau memanjang. Fungsi batu ini berkaita dengan upacara kematian, sebagai contoh di Sulawesi Selatan yang digunakan sebagai permainan ketika menunggu jika ada yang meninggal.
  4. Lumpang batu atau lesung batu adalah salah satu peninggalan megalitik yang pada bagian permukaanya cenderung datar dan terdapat satu lubang atau lebih. Ukuran lubang baik diameter maupun kedalaman biasanya lebih besar dibandungkan dengan ukuran lubang pada batu dakon. Fungsi praktis dari lumping ini adalah untuk menumbuk biji-bijian selain juga berfungsi sebagai benda religious yang digunakan sebagai sarana pemujaan.

Menurut ahli geologi, batu-batu tersebut memiliki jenis batu yang sama yaitu granit. Granit adalah salah satu batuan beku yang kuat atau keras, untuk memahat atau mengukir batu tersebut harus dengan jenis batuan yang sama kuat atau lebih kuat dari granit. Sebagain besar posisi-posisi batuan tersebut tidak pada posisi yang stabil atau berdiri tegak. Ada bagian yang miring, terpecah-belah dan tertelungkup atau tertidur serta ada juga yang terpencar jauh berada di daerah yang lebih rendah dekat dengan sungai kecil. Kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar apakah pernah ada kejadian yang luar biasa pada masa lalu, sebuah kejadian yang mampu mengguncang kuat sehingga batu-batu tersebut bergeser.

Sumber data:

  1. Wawancara Iksam, arkeolog dan wakil museum daerah Provinsi Sulawesi Tengah, tanggal 22 Mei 2017 di museum daerah
  2. Wawancara Erna, 18 Mei 2017 di pantai tanjung karang
  3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Tengah, 1996. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Dokumen tidak dipublikasikan.
  4. Siswanto, Joko, 2010. Kajian Persebaran Peninggalan Megalitik di Lembah Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata BAdan Penelitian dan Pengembangan SUmberDaya BAlai Arkeologi Manado.
  5. Dokumentasi foto oleh N.Susilawati dan Denny Sugiharto

Ditulis oleh Neneng Susi susilowati

Tinggalkan Balasan