Pengungsi Palestina ke Indonesia, Dalam Bingkai Keadilan Rekognisi

Ekspedisi Jawadwipa

Pada tahun 2024, diperkirakan lebih dari enam juta Pengungsi Palestina hidup di pengungsian, menjadikan mereka salah satu populasi pengungsi terbesar di dunia. Situasi ini merupakan warisan panjang dari konflik yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade.

Untuk merespons krisis ini, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Tengah (UNRWA) didirikan pada tahun 1949. Lembaga ini bertugas menyelenggarakan program bantuan dan perlindungan bagi pengungsi Palestina di berbagai wilayah, termasuk Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, dan Gaza.

Perjuangan rakyat Palestina bukan hanya soal tanah, tapi soal pengakuan atas identitas, martabat, dan hak untuk hidup sebagai manusia yang setara.”

UNRWA mendefinisikan pengungsi Palestina sebagai mereka yang “tinggal secara permanen di Palestina antara 1 Juni 1946 dan 15 Mei 1948, dan kehilangan rumah serta mata pencaharian akibat konflik yang meletus pada 1948.”  

Lebih dari itu, keturunan dari para pengungsi tersebut termasuk anak-anak adopsi juga berhak terdaftar sebagai pengungsi Palestina sesuai mandat UNRWA.

Ketika mulai beroperasi pada tahun 1950, UNRWA mencatat sedikitnya 750.000 pengungsi Palestina yang berada dalam perlindungan dan bantuan mereka. Jumlah ini terus meningkat seiring waktu, sejalan dengan konflik yang belum menemukan titik akhir.

Pengungsi Palestina ke Indonesia, Dalam Bingkai Keadilan Rekognisi

pengungsi palestina
Ilustrasi Pengungsian, Foto: human-initiative.org

Kondisi kemanusiaan yang kritis di Palestina memang memantik empatis negara lain, ada keinginan besar untuk mengulurkan tangan dan memberi mereka bantuan, baik untuk memberi bantuan pasokan logistik maupun dengan langkah strategis menampung para pengungsi untuk hadir di negara lain.

Dalam statemennya, Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan kesiapan untuk menampung warga Palestina korban Gaza ke Indonesia. Prabowo menyampaikan rencananya dalam keterangan pers di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Rabu (9/4/2025), atau jelang lawatan ke kawasan Timur Tengah dan Turki.

Namun rencana ini juga menuai kritik dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas. Ia mempertanyakan niat di balik pemindahan warga Palestina dari wilayah konflik, dan menyebut bahwa langkah semacam itu justru sejalan dengan gagasan yang pernah dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan mendapat dukungan dari Israel.

Menurut Anwar, ada kekhawatiran bahwa upaya mengeluarkan warga Palestina dari Gaza dapat dimanfaatkan oleh Israel untuk “mengosongkan wilayah tersebut”, sehingga membuka jalan bagi pendudukan yang lebih luas. Dalam skenario seperti itu, lanjutnya, Israel akan lebih mudah menempatkan warganya sendiri di wilayah yang telah ditinggalkan rakyat Palestina.

Menampung pengungsi Palestina ke Indonesia merupakan langkah yang perlu dipertimbangkan secara hati-hati dalam konteks kemanusiaan terutama dalam konteks melihat keadilan rekognisi. Hal ini menunjukkan solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina dan komitmen untuk melindungi hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Namun langkah tersebut juga menimbulkan pertanyaan strategis dan politik, terutama jika dilihat dari potensi dampaknya terhadap perjuangan Palestina atas tanah dan kedaulatannya.

Baca juga: Hari Kesiapsiagaan Bencana, Apa yang bisa Dilakukan ?

Keadilan rekognisi tidak hanya berarti memberi perlindungan fisik, tetapi juga menghormati identitas, sejarah, dan aspirasi kolektif rakyat Palestina. Dalam konteks ini, setiap kebijakan terkait penampungan pengungsi perlu dirancang dengan mempertimbangkan dimensi kemanusiaan, politik, dan etika secara seimbang, agar tidak justru mengaburkan tujuan utama dari perjuangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah

Sumber: