Diskusi Kajian Pemetaan Partisipatif Kab. Sigi

pemetaan partisipatif
Ekspedisi Jawadwipa

Pemetaan partisipatif adalah sebuah metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pemetaan wilayahnya, sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Tedapat beberapa karakteristik pemetaan partisipatif, diantaranya adalah:

  1. Melibatkan seluruh anggota masyarakat
  2. Masyarakat menetukan sendiri topik pemetaan dan tujuannya
  3. Masyarakat menentukan sendiri proses yang berlangsung
  4. Peroses pemetaan dan peta yang dihasilkan bertujuan untuk kepentingan masyarakat
  5. Sebagian besar informasi yang terdapat dalam peta berasal dari pengetahuan masyrakat setempat
  6. Masyarakat setempat menentukan sendiri penggunaan peta yang dihasilkan.

Kabupaten Sigi merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak potensi bencana. Terlebih lagi Kabupaten Sigi mengalami dampak yang parah akibat gempa 28 September 2018 lalu. Menyadari hal itu, pemerintah daerah, organisasi masyarakat maupun masyarakat bersama sama melakukan Kajian Risiko Bencana (KRB).

Diskusi Kajian Pemetaan Partisipatif Kab. Sigi

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Islamic Relief pada Selasa 20 Oktober 2020, Ibu Sri Idawati dari BPBD Kabupaten Sigi menjelaskan bahwa proses penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB) Kab. Sigi dilakukan dengan melakukan pembentukan tim kajian risiko bencana yang terdiri dari Organisasi PErangkat Daerah (OPD) terkait, akademisi, lembaga terkait, tim teknis penyusunan kajian risiko bencana dengan keputusan Bupati kabupaten Sigi No 360-313 tahun 2020.

Tim penyusun pemetaan partisipatif memberikan saran masukan dan data sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kemudian tim penyusun melakukan survei ke lokasi yang rawan bencana. Bapak Rusman akademisi sekaligus tim penyusun Kajian Risiko Bencana(KRB) Kab. Sigi menerangkan lebih lanjut bahwa kami menggunkan semi metode kuantitatif, metode ini yang diterapkan dalam penilaian risiko bencana yang ada di Kab. Sigi. Pengkajian risiko bencana dilakukan dengan keterlibatan berbagai macam pihak yang mengacu pada perka BNPB nomor 1 tahun 2012. Kelompok tim penyusun KRB ini dibagi menjadi dua tim yaitu dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) dan peta KRB berbasis Geographic Information System (GIS) maka keduanya digabung dan membentuk dokumen KRB.

Baca juga: Manajemen Risiko Bencana yang Dipimpin Masyarakat

Diterangkan lebih lanjut oleh Bapak Petra seorang praktisi kebencanaan, ia menyebutkan bahwa “Pemetaan partisipatif bisa dilakukan oleh siapa saja, sehingga level desa bisa melakukannya. Sehingga ada dua aspek ada data-data yang tidak bisa dihasilkan dari proses pembuatan peta risiko tapi muncul di dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB). Selama ini Kajian Risiko Bencana (KRB) yang ada adalah sebaran zona merah, kuning dan hijau tapi tidak menjelaskan apa substansi dari merah kuning hijau. Bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi, bagaimana masyarakat bisa diberi informasi sebab-sebabnya. Hal itu menjadi perhatian terhadap masyarakat, hal yang paling mendasar adalah bagiamana pertanggung jawaban jika kita menamakan daerah ini zona merah.”

Permasalahan lebih banyak muncul setelah gempa 28 September 2020, beberapa wilayah di Kabupaten Sigi sering dilanda banjir bandang akibat pengaruh seismik, seperti Desa Bangga di Dolo Selatan dan Desa Salua, Namo dan Bolapapu di Kulawi.

Sofyan Eyang menambahkan bahwa “Hal yang penting adalah kita memahami indikator-indikator dalam kajian dalam konteks pola hubungan dengan penghidupan masyarakat. Kaitan dengan banjir bandang ini menjadi menarik jika kita memasukkan indikator-indikator banjir bandang yang umum digunakan karena melihat geologi, topografi dan bentang alam yang ada di Kab. Sigi.Jadi kita bisa melakukan kajian jangka panjang, bila terjadi perubahan bentang alam dalam waktu yang lama akan seperti apa. Jadi KRB juga bisa menjadi proyeksi dan menjadi penting untuk kajian risiko bencana kedepan apalagi dimasukkan mengenai kajian perubahan iklim.”

Sampai saat ini Kajian Risiko Bencana (KRB) belum mampu untuk melakukan proyeksi kedepan. Hanya berkutat dengan ancaman yang ada dan belum memperhatikan ancaman-ancaman baru yang akan bermunculan bila suatu kawasan dieksploitasi. Perlunya pengembangan pada proses pengkajian risiko bencana yang sesuai dengan pengembangan pengetahuan yang ada. Diperlukan juga kesesuaian antara masing-masing kebijakan yang telah disahkan dan diterapkan.

Penulis: Lien Sururoh