Kawasan rawan bencana seringkali diabaikan dalam perencanaan aktivitas penggalian tambang atau eksplorasi perut bumi, karena potensi keuntungan dan sumber dayanya yang cukup besar. Namun seringkali penggalian ini disertai dan menyebabkan ketidakstabilan tanah yang menyebabkan tanah longsor, gempa bumi, letusan freatik dan bencana-bencana lain.
Seperti masyhurnya cerita tentang Dataran Tinggi Dieng yang dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan panas buminya. Tetapi dibalik kekayaan sumber daya tersebut, kawasan ini juga dikenal sebagai daerah rawan bencana, mulai dari letusan freatik, tanah longsor, hingga aktivitas vulkanik yang fluktuatif.
Menggali Perut Bumi di Daerah Rawan Bencana
Upaya eksploitasi energi panas bumi di kawasan ini menimbulkan dilema: di satu sisi, ada kebutuhan mendesak akan energi terbarukan yang digadang-gadang sebagai energi ramah lingkungan, namun di sisi lain, risiko bencana alam dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan tidak bisa diabaikan.

Ketertarikan eksplorasi panas bumi di Dieng nampaknya sudah dilirik sebagai penghasil daerah penghasil energi potensial panas bumi sejak 20 Agustus 1974, yang saat itu Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia menetapkan Sumber Panas Bumi Dieng sebagai wilayah kerja IV Panas Bumi bagi Perusahaan Pertamina.
Penggalian perut bumi di daerah Dieng menarik dikaji sebab, historis Dieng yang beberapa kali pernah mengalami letusan freatik seperti yang terjadi di tahun 1928, 1938, 1959, 1969, 1979 dan 2013, letusan ini bukan berasal dari satu kawah, namun berbagai kawah yang ada di Dieng, yang kawah-kawah tersebut berpisah-pisah oleh pemukiman masyarakat, ladang dan pegunungan yang membentuk kawasan Gunung Api Dieng.
Gempa bumi yang menyebabkan keluarnya gas beracun di tahun 1979 oleh kawah Sinila, menjadi perhatian sebab saat itu menelan korban lebih dari 150 orang dan warga Kecamatan Batur mengungsi.

Perhatian ini juga ditulis oleh Tempo, dari artikelnya yang berjudul “Dari Dieng, dengan Pertamina” Sabtu, 10 Maret 1979, menggaris bawahi bahwa, kehadiran eksplorasi panas bumi oleh Pertamina, termasuk pengeboran sumur Dieng I, menimbulkan kekhawatiran bahwa aktivitas manusia bisa memicu pelepasan tekanan geologis yang terpendam. Dengan membandingkan fenomena yang pernah terjadi di Denver, AS, pada 1962. Pengeboran industri di sana memicu gempa kecil yang merusak bangunan, meski skalanya rendah. Perbandingan ini menunjukkan bahwa di wilayah rawan bencana seperti Dieng, eksplorasi energi berisiko mempercepat ketidakstabilan alam yang sudah ada.
Baca juga: Banjarnegara dan Kisah Gempanya
Menggali perut bumi di daerah yang rawan bencana bukanlah hal yang mudah, perlu analisis yang mendalam dan kajian yang dilakukan secara menyeluruh. Melihat kompleksitas kondisi geologis Dieng dan sejarah panjang bencana yang pernah terjadi. Di tengah tuntutan akan transisi energi bersih dan terbarukan, penting untuk memastikan bahwa upaya pemanfaatan sumber daya alam tidak mengabaikan keselamatan lingkungan dan masyarakat sekitar.(Kori/Nugrah)