Nasib umat manusia dan Bumi makin menjadi perhatian belakangan ini, bukan soal pandemi Covid-19 tapi ada yang diyakini lebih mengerikan yaitu perubahan iklim (climate change).
Perubahan iklim diyakini menjadi ancaman yang lebih mengerikan daripada pandemi, saat ini sudah mulai dirasakan di seluruh dunia dari banjir, kebakaran hutan, kekeringan, badai besar dan lainnya yang mengancam umat manusia.
Dunia Harus Bersiap Hadapi Potensi Bencana Akibat Perubahan Iklim
Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi karbon sehingga meningkatkan tingkat suhu bumi. Tentunya, ini akan berdampak buruk bagi bumi dan manusia.
Sejak awal pandemi COVID-19, bencana terkait iklim telah berdampak pada sedikitnya 139,2 juta individu dan memakan lebih dari 17,242 korban jiwa.
Hal ini diungkapkan dalam analisis terbaru Federasi Palang Merah Internasional & Bulan Sabit Merah (IFRC) dan Red Cross Red Crescent Climate Centre (RCRC Climate Centre) terkait dampak dari cuaca ekstrem di tengah pandemi COVID-19. Sekitar 658,1 juta individu dari kelompok rentan terpapar suhu ekstrem.
Dari data terbaru serta sejumlah studi kasus spesifik, kajian tersebut memaparkan bahwa populasi di seluruh dunia kini tengah menghadapi beragam krisis dan kerentanan yang berlapis.
Baca juga: Vetiver, Pohon Penangkal Longsor dan Erosi
Hasil pada paparan ini juga menekankan pentingnya penanganan krisis di tengah pandemi COVID-19 yang berdampak pada kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia dan membuat mereka menjadi lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim.
“Dunia tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana perubahan iklim dan COVID-19 telah mendorong masyarakat sampai batas kemampuan. Menjelang COP26, kami mengimbau para pemimpin dunia untuk mengambil aksi cepat agar tidak hanya mengurangi emisi rumah kaca tetapi menangani dampak kemanusiaan akibat perubahan iklim,” ujar Francesco Rocca, Presiden IFRC dalam keterangan resminya yang diterima redaksi Disasterchannel.co.
Laporan ini disampaikan satu tahun setelah adanya analisis terhadap meningkatnya risiko akibat cuaca ekstrem pada masa krisis pandemi COVID-19. Pandemi yang masih berlangsung menimbulkan malapetaka terhadap kesehatan jutaan manusia di dunia, serta dampak tak langsung akibat upaya pembatasan.
Krisis rawan pangan dari perubahan iklim diperparah dengan adanya virus COVID-19 serta sistem kesehatan yang telah mencapai ambang batas kemampuannya, serta masyarakat rentan yang harus menanggung dampak terbesarnya.
Di Afghanistan, dampak kekeringan berkelindan dengan konflik serta COVID-19 yang telah melumpuhkan produksi pangan pertanian dan merusak hasil peternakan serta berujung pada terjadinya kelaparan dan malnutrisi bagi jutaan warganya.
Bulan Sabit Merah Afganistan turut memberikan bantuan di antaranya dalam bentuk bahan pangan serta bantuan tunai untuk pembelian makanan, menanam tanaman tahan kekeringan, dan perlindungan ternak.
Di Honduras, ribuan manusia kehilangan tempat tinggal dan mengungsi akibat badai Eta dan Itoa di tengah pandemi sehingga mengungsi ke ke tempat pengungsian dengan mengimplementasikan berbagai pembatasan fisik sebagai upaya perlindungan dari penyebaran virus COVID-19.
Kenya juga merasakan dampak dari COVID-19 bersamaan dengan bencana banjir dan kekeringan. Lebih 2,1 juta individu mengalami kerawanan pangan baik di pedesaan maupun perkotaan.
Di wilayah Afrika Timur, pembatasan karena COVID-19 memperlambat proses respon banjir dan upaya untuk menjangkau populasi terdampak, sehingga kian meningkatkan kerentanan mereka.
Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia bukan hanya melakukan respon terhadap krisis yang berlapis, tetapi juga membantu masyarakat untuk bersiaga dan mengantipasi risiko perubahan iklim.
Bulan Sabit Merah Bangladesh memanfaatkan pendanaan IFRC untuk aksi antisipatif (anticiparory action) untuk melakukan diseminasi pesan peringatan dini banjir melalui pengeras suara di wilayah rentan, sehingga masyarakat dapt melakukan langkah mitigasi.
“Ancaman tidak perlu jadi bencana. Kita dapat menangkal peningkatan risiko dan melakukan langkah penyelamatan jika kita mengubah cara untuk melakukan antisipasi krisis, pendanaan aksi dini, dan pengurangan risiko di semua tingkatan. Pada akhirnya, kita perlu membantu masyarakat untuk menjadi lebih tangguh, terlebih dalam konteks paling rentan,” ujar Julie Arrighi, Associate Director dari Red Cross Red Crescent Climate Center.
Pandemi COVID-19 telah membawa dampak berkepanjangan dalam risiko perubahan iklim. Pemerintah perlu berkomitmen untuk berinvestasi pada upaya adaptasi di masyarakat, sistem antisipasi, dan penguatan aktor lokal.
“Pembiayaan besar untuk pemulihan COVID-19 membuktikan bahwa pemerintah dapat bertindak cepat dalam menghadapi ancaman global. Kini adalah waktunya untuk mengubah kata menjadi aksi, dan memberikan energi yang sama besarnya dalam menangani krisis perubahan iklim. Setiap hari, kita saksikan dampak perubahan iklim akibat ulah manusia. Krisis iklim terjadi di sini saat ini, dan kita harus melakukan aksi,” tambah Rocca.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla dalam sambutannya di acara pelantikan Pengurus PMI DIY masa bakti 2021-2026 di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, Sabtu 9 Oktober 2021.
Pihaknya memperingatkan kalau akan muncul bencana lebih besar lagi setelah Covid-19. Oleh sebab itu, ia meminta PMI siap menghadapi potensi bencana dahsyat yang akan terjadi itu.
“Hari ini kita selalu mendengarkan bagaimana dahsyatnya Covid-19, tetapi kata para ahli akan muncul bencana yang lebih besar lagi, yaitu perubahan cuaca atau perubahan iklim,” ujar JK.
Dia mengatakan bencana akibat perubahan iklim, seperti banjir, telah melanda sejumlah negara di benua Eropa, Amerika Serikat, Asia, dan Afrika. Maka, Indonesia mau tak mau harus bersiap-siap.
“Banjir, gempa bumi, dan bahaya-bahaya dari perubahan alam. Karena itulah di samping kita mengatasi masalah Covid-19 ini kita juga harus siap mengatasi bencana-bencana alam selanjutnya apabila ada,” ujarnya.
Lebih jauh, JK menambahkan, PMI selalu berusaha bekerja dengan baik dan secepat-cepatnya membantu masyarakat sesuai prinsip kemanusiaan tanpa mempunyai batasan diskriminatif.
Selain memberikan pertolongan, menurutnya, para relawan PMI juga perlu hadir untuk memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai upaya memperbaiki lingkungan.
“Harus juga memberikan mitigasi kepada masyarakat serta memberikan penjelasan kepada masyarakat, memberikan bantuan informasi kepada masyarakat. Karena hanya dengan bantuan itu kita dapat mencegah bahaya yang lebih besar,” tegasnya.
Meski bencana-bencana besar tersebut pasti akan terjadi dan mungkin sudah berada di depan mata, namun bukan berarti kita tak bisa menghindarinya. Dia juga berharap, kerja sama yang baik antara PMI pusat dan daerah bisa membuat segalanya menjadi lebih terukur.
“PMI tidak ada artinya tanpa PMI di daerah sebagai ujung tombak mengatasi masalah di daerah,” kata JK.
Kontributor: Atep Maulana