Dilema Sempitnya Lahan dan Ketahanan Pangan yang Mengancam

ketahanan pangan
ilustrasi lahan pangan
Ekspedisi Jawadwipa

ketahanan pangan menjadi pembahasan yang sering terjadi dimasa sekarang ini. Ketika bulan Ramadan, sebagian di antara kita yang muslim menjalankan ibadah puasa untuk menahan haus dan lapar dalam kurun waktu sekitar 13 jam. Jauh dari akses mengkonsumsi makanan selama 13 jam membuat kebanyakan orang mungkin memikirkan makanan. Ketika kita tidak bisa mengakses berbagai jenis makanan yang dibutuhkan, apakah ini berarti kita dalam ancaman bencana yang nyata?. Pertanyaan ini kembali diperkuat dengan kenyataan yang beredar di kalangan masyarakat luas.

Dilema Sempitnya Lahan dan Ketahanan Pangan yang Mengancam

Belakangan ini kita semua dihebohkan dengan kabar bahwa tahun 2063 profesi petani akan sirna. Dilansir dari kompas.com Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyampaikan perkiraan pada tahun 2063 tak ada lagi profesi petani. Mungkin hal ini benar akan terjadi di masa depan, nyatanya saja lahan pertanian semakin hari semakin sempit digerus oleh kepentingan pembangunan. 

Bila tak ada sawah dan petani, mungkin tak dapat kita saksikan potret anak Sekolah Dasar (SD) yang selalu mengambar hamparan sawah di kaki gunung saat matahari terbit dengan indah, sebab mereka tidak pernah melihat sawah. 

Puluhan tahun lalu masih banyak kita jumpai sawah-sawah luas membentang, namun sekarang semakin sulit saja menjumpai sawah. Perkara hanya ingin melihat sawah saja, warga ibukota harus berkendara jauh dan menghabiskan kocek yang lumayan untuk menikmati suasana persawahan, dulu panorama ini dinikmati secara cuma-cuma. Kita lihat saja sawah-sawah di bilangan Bekasi dan Karawang yang luas membentang, sekarang tertambal dengan bangunan beton-beton kawasan industri.

ketahanan pangan
Ilutrasi ketahanan pangan

Dilansir dari CNNIndonesia, mentri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahkan mencatat ada 150 ribu hektar (ha) lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi nonpertanian. Padahal, lahan yang tersulap baru 30 ribu ha pada 1990. Selanjutnya ia berkata “Memang ada kenyaraan alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian yang masih terus berlangsung saat ini, bahkan cendrung meningkat, terjadi di perkotaan alihkan industri jalan stretagis” ujar Syahrul dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR, Senin (29/03/2021).

Padahal, Pasal 44 Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara tegas mengatur lahan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan harus dilindungi dan haram dialihfungsikan. Kalaupun ingin melakukan alih fungsi lahan maka harus memenuhi syarat di antaranya: kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik dan disediakan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialifungsikan. Namun sepertinya peraturan itu belum berjalan sebagaimana mestinya bila melihat kenyataan yang ada.

Baca juga: Intip MRE Ketika Bencana Terjadi Di Indonesia

Volume impor untuk komoditas pangan cenderung meningkat, terutama untuk kedelai dan gandum (BPS 2000 dan BPS 2014). Ini menunjukkan bahwa akan ada ancaman yang serius terkait dengan ketahanan dan kedaulatan pangan di masa yang akan datang, apabila tidak ada tindakan yang dapat menekan laju konversi lahan pangan dan meningkatkan produktivitas secara signifikan.

Penelitian Anny Mulyani dan kawan kawan menyebutkan bahwa data sebaran lahan sawah yang menjadi dasar pengambilan kebijakan sejauh ini bersumber dari data statistik atau data spasial dengan resolusi rendah. Pada skala tersebut sulit dideteksi konversi dan penambahan luas lahan sawah yang terjadi pada areal yang relatif sempit (< 5 ha), padahal kenyataan di lapangan konversi lahan sawah dalam luasan yang sempit dan terpencar sangat umum terjadi terutama konversi untuk pemukiman.

Penelitian ini memperkirakan laju konversi lahan sawah nasional sebesar 96.512 ha per tahun. Dengan tingkat laju tersebut, lahan sawah yang ada sekarang seluas 8,1 juta ha akan menciut menjadi hanya sekitar 5,1 juta ha pada tahun 2045. Hal ini jelas akan mengancam ketahanan pangan nasional. Langkah pengendalian konversi lahan urgen untuk dilakukan, disamping tetap melaksanakan usaha pencetakan sawah baru dan intensifikasi pertanian secara berkelanjutan.

Stabilitas ketahanan pangan sangat penting dipertahankan, terlebih negara ini adalah negara yang rawan bencana. Bagiamana jadinya bila ancaman ketahanan pangan ini berubah menjadi peristiwa kelaparan atau berujung konflik sosial di masa depan apalagi berbarengan dengan peristiwa bencana alam. Kita semua harus sadar bahwasanya kita semua butuh makan dan butuh lahan untuk menanam dengan mengindahkan keseimbangan alam.

Penulis: Lien Sururoh

Editor: Nugrah Aryatama

Sumber:

Mulyani A. et al. 2016. Analisis Konversi Lahan Sawah: Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi Memperlihatkan Laju Konversi yang Mengkhawatirkan. Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 40 No. 2 Hal. 121-133

cnnIndonesia.com

kompas.com