Cadangan Air Karst, Nasibnya di tengah Penambangan

Ekspedisi Jawadwipa

Dalam peringatan Hari Air Internasional 2025 mengangkat tema terkait Gletser Preservation atau Perlindungan Gletser, dan cadangan air dunia, hal ini dikarenakan kondisi krisis iklim yang semakin parah. Hubungannya dengan mencairnya gletser es karena mencairnya gletser es menjadi penyebab berkurangnya sumber kebutuhan hidup manusia. 

Di Indonesia sendiri, satu-satunya wilayah yang mempunyai gletser es ada di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua yang juga memiliki nasib diambang kepunahan karena krisis iklim.

Apabila gletser mencair karena kenaikan suhu udara, bongkahan es tersebut akan melepaskan karbon di angkasa dan pasokan cadangan air untuk dunia akan terus berkurang. 

Dalam konteks penyimpanan cadangan air tawar, sebenarnya Indonesia mempunyai bonus tersendiri dengan adanya bongkahan pegunungan-pegunungan karst di berbagai wilayah. 

Cadangan Air Karst, Nasibnya di tengah Penambangan

cadangan air

Menurut Kementrian Lingkungan, luas potensi bentang alam karst di Indonesia ada sekitar 154.000 km2 atau setara dengan 0.08% dari luas daratan Indonesia. Ini tersebar di berbagai wilayah seperti di Maros Sulawesi, Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, Sangkulirang-Mangkulihat di Kalimantan dan di berbagai wilayah Indonesia.

Ekosistem Karst mempunyai peran cukup penting untuk ekosistem disekitarnya, karst adalah penyimpan cadangan air terbaik. Dalam perspektif hidrologis, kawasan yang mampu menyimpan dan mengalirkan dalam jumlah yang banyak dikenal dengan sebutan akuifer. Faktor utama pembentuk akuifer adalah jenis batuan yang mempunyai ruang yang cukup dan mudah terisi seperti material pasiran, kerikil, atau batuan yang tidak kompak.

Di kawasan karst, karena dominasi proses pelarutan (dissolution), maka batuan gamping yang awalnya keras dan padat secara lambat laun akan terbentuk rongga-rongga hasil pelarutan yang kemudian akan terisi oleh airyang dapat dijadikan cadangan air.

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), satu kawasan karst bisa menyediakan hingga 30 sumber mata air. Kegunaannya tentu beragam dari mulai aktivitas konsumsi sehari-hari masyarakat, hingga digunakan untuk pengairan perkebunan dan pertanian. Selain itu fungsi dari ekosistem karst sendiri adalah sebagai habitat bagi hewan seperti burung, kupu-kupu dan hewan-hewan lain yang tumbuh dalam ekosistem keindahan alam karst. 

Banyak aktivitas masyarakat terutama dalam kebutuhan air tawar yang digantungkan pada ekosistem karst. Dikutip dari Mongabay, nilai penggunaannya oleh masyarakat di sekitar karst Maros, Sulawesi Selatan, mencapai Rp 406,5 miliar/tahun selain itu di kawasan karst Gunung Sewu, ekosistem karst telah memenuhi kebutuhan air baku bagi 120.000 jiwa masyarakat di sekitarnya. Kebutuhan tersebut hanya dicukupi dari dua sistem sungai bawah tanah Gua Seropan dan sistem Gua Bribin.

Menjadi wilayah dengan Pegunungan Karst yang banyak harusnya menjadi berkah bagi Indonesia, kebutuhan pasokan air tawar di berbagai wilayah tercukupi dengan adanya ekosistem karst ini, ketakutan akan krisis iklim dan berkurangnya pasokan dan cadangan air seharusnya menjadi cambuk untuk mencari solusi alternatif serta upaya perlindungan serius untuk menjaga wilayah-wilayah penyimpan yang termasuk ekosistem karst.

Baca juga: Antara Hutan dan Banjir Kalimantan Selatan

Namun nyatanya kesadaran akan pentingnya kebutuhan ini yang semakin sulit dicari, tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik di Pegunungan Karst Indonesia. Kebutuhan semen yang meningkat, membuat batuan karst yang sering disebut sebagai batuan gamping menjadi incaran utama penambangan.

Hasil analisis terhadap data izin pertambangan 2019 menunjukkan, seluas 1,82 juta hektar atau 11% kawasan karst di Indonesia telah dibebani izin konsesi pertambangan. Hal ini merupakan permasalahan yang cukup serius mengingat berbagai kasus penambangan karst di Indonesia memicu konflik masyarakat karena hilangnya fungsi ekosistem air tadi serta membuat laju percepatan bencana ekologis.

Di Kendeng misalnya, akibat penambangan karst yang terjadi, sumber-sumber mata air yang berada di Desa Kedungwinong dan Desa Baleadi, Sukolilo hilang bersama masifnya penambangan semenjak 2021. Bukannya air tawar yang bersih yang didapat, malah banjir bandang kini marak terjadi di kawasan yang dulu dikenal sebagai kawasan karst.

Tidak ada yang pernah benar-benar belajar dari kerusakan karst Pegunungan Kendeng belasan tahun yang lalu, sumber mata air kini hanya menjadi air mata, karena kerusakan ekosistem yang tidak terkendali.

penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah

Sumber: