4 Hambatan “Pelokalan” Lembaga Kemanusiaan di Indonesia

Ekspedisi Jawadwipa

Pelokalan yang berusaha dikembangkan oleh lembaga atau organisasi kemanusiaan di Indonesia menghadapi berbagai hambatan yang cukup kompleks, baik dari segi regulasi, pendanaan, hingga kapasitas sumber daya manusia. Meskipun ada dorongan untuk memperkuat peran organisasi lokal dalam respons kemanusiaan, tantangan seperti birokrasi yang rumit, keterbatasan akses pendanaan internasional, serta kurangnya koordinasi antara pemerintah dan organisasi non-pemerintah seringkali menghambat efektivitas pelokalan.

Dalam Laporan sintesis pembelajaran regional Indopacific tentang Covid-19 dan dampaknya terhadap penanggulangan dan resiliensi bencana yang berjudul “Karena Resiliensi itu Lokal” oleh BNPB (Badan Penanggulangan Bencana Nasional), banyak menjelaskan terkait bagaimana pelokalan bekerja serta berbagai temuan lainnya terkait pelokalan terutama dalam kasus Covid-19 yang pernah ditangani.

Di Indonesia, Covid-19 menjadi titik berat penyadaran akan pentingnya Pelokalan, hal ini karena keterbatasan membuat semua lembaga berfikir keras untuk survive dan tetap dapat menolong sesama. Meskipun begitu hambatan-hambatan lembaga kemanusiaan dalam konsep pelokalan untuk mencapai berbagai tujuan kemanusiaan tetap ada, secara singkat dalam kasus Covid-19 dalam Laporan diatas ada beberapa hambatan yang dialami:

4 Hambatan “Pelokalan” Lembaga Kemanusiaan di Indonesia

pelokalan
  1. KURANGNYA INSENTIF

Mendukung personil garda depan dan masyarakat yang terkena dampak bencana untuk memaksimalkan resiliensi mereka membutuhkan pergeseran keseimbangan kekuasaan, pengaruh, dan uang dari aktor internasional dan regional ke tingkat nasional dan akhirnya lokal.

  1. STRUKTUR KEKUASAAN YANG TIDAK SEIMBANG DALAM KEMITRAAN

Saat ini, model kemitraan dalam penanggulangan bencana dan program kemanusiaan lebih banyak mengikuti pola hubungan antara kontraktor utama dan subkontraktor atau penerima kontrak. Dalam praktiknya, bantuan yang diberikan sering kali disesuaikan dengan kebijakan, prosedur, dan tingkat risiko yang ditetapkan oleh pihak pemberi kontrak. Meskipun ini dianggap sebagai praktik bisnis yang wajar, ketidakseimbangan kekuasaan dalam kemitraan tersebut membuat aktor lokal memiliki keterbatasan dalam menentukan agenda, strategi, dan kebijakan untuk penanggulangan bencana dan aksi kemanusiaan.

  1. HAMBATAN UNTUK MEMAKSIMALKAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI DIGITAL

Penggunaan teknologi digital dalam sektor kemanusiaan masih terbatas pada digitalisasi proses bisnis, bukan pada sistem penanggulangan bencana secara menyeluruh. Padahal, dampak nyata terhadap ketahanan bencana di tingkat lokal hanya bisa tercapai jika ada upaya sistematis untuk mendigitalisasi seluruh arsitektur kemanusiaan. Berbeda dengan sektor komersial dan pelayanan publik, investasi dalam digitalisasi penanggulangan bencana belum banyak diarahkan untuk otomatisasi sistem yang lebih baik, termasuk digitalisasi data perlindungan sosial di beberapa negara.

  1. MEMAHAMI INFORMASI BENCANA KEBUTUHAN UNTUK MEMASTIKAN AKSESIBILITAS

Informasi bencana sering kali bersifat teknis dan hanya tersedia dalam satu bahasa, padahal banyak masyarakat lokal yang berkomunikasi dalam bahasa daerah yang berbeda. Hal ini menyulitkan mereka untuk memahami informasi dengan cepat dan mengambil tindakan yang tepat.

Baca juga: Mengenal Loka Nusa: Forum Pelokalan Indonesia

Penelitian Universitas Indonesia menunjukkan bahwa selama bencana, informasi teknis harus diterjemahkan ke dalam bahasa lokal agar lebih relevan, mudah diakses, dan dapat memberikan panduan yang jelas. Bahkan istilah sederhana seperti “risiko” bisa jadi asing bagi masyarakat adat yang tidak memiliki konsep serupa dalam bahasanya. Jika mereka tidak memahami istilah seperti “risiko bencana,” mereka akan kesulitan dalam mencegah dan mengurangi dampaknya.

Meskipun dalam penelitian tadi lebih khusus membahas kasus Covid-19, namun hambatan ini nampaknya relate dengan kondisi hambatan “Pelokalan” lembaga atau organisasi kemanusiaan di Indonesia sekarang, ini juga menjadi tantangan serta latar belakang mengapa pelokalan harus disegerakan, mengingat ada banyaknya tantangan penting agar tercapainya sistem pelokalan yang baik.

Penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah Aryatama