Di sejumlah wilayah Indonesia, ada beberapa desa-desa atau kawasan yang menjadi kampung mati dan perlahan harus ditinggalkan setelah retakan muncul di tanah, karena retakan tersebut merobek dinding-dinding rumah-rumah miring, dan akses jalan terputus. Tak sedikit desa yang akhirnya dinyatakan tidak layak huni. Warga dipindahkan dan dipindahkan, lahan dibiarkan terbengkalai, dan sisa bangunan menjadi penanda bisu dari bencana yang pelan kemudian mengusir kehidupan dan menjadi kampung mati.
Efek dari pergerakan tanah sedemikian rupanya, cara kerjanya sedikit lebih lambat, namun secara pasti masyarakat harus segera berkemas meninggalkan wilayahnya karena kondisi yang tak aman lagi. Membuat rumah baru, lingkungan baru atau bahkan mencari lapangan kerja baru.
Fenomena tanah bergerak merupakan kejadian alam di mana lapisan tanah berpindah dari posisi awalnya, baik secara tiba-tiba maupun bertahap. Peristiwa ini bisa berlangsung dalam berbagai skala, mulai dari pergeseran kecil hingga bencana besar seperti longsor dan runtuhan tanah.
Sejumlah wilayah di berbagai desa telah kehilangan fungsinya akibat bencana satu ini, yang setiap tahunnya datang. Tidak sekadar rusak namun lama-kelamaan mati dikosongkan total dan tak bisa dihuni kembali. Kampung-kampung yang menjadi kampung mati ini menjadi contoh betapa gerakan tanah bisa mengubah peta pemukiman masyarakat
3 Kampung Mati di Indonesia Karena Tanah Bergerak
Berikut ini adalah 3 kampung mati di Indonesia yang harus ditinggalkan sepenuhnya karena terdampak pergerakan tanah:
- Dusun Cigintung, Majalengka

Pergerakan tanah yang terjadi sejak 14 April 2013 di Kampung Cigintung, Desa Cimuncang, Kecamatan Malausma, Majalengka, membuat wilayah ini nyaris tak lagi layak huni. Sebanyak 670 rumah rusak parah, sebagian terbelah, miring, bahkan hancur total. Fenomena ini berlangsung perlahan namun meluas. Retakan tanah mencapai lebar 50 cm hingga 18 meter.
Pada penelusuran Tim Ekspedisi Susur Sesar Baribis pada tahun 2024, sempat melihat kondisi Kampung mati tersebut setelah beberapa tahun ditinggalkan, sisa-sisa bangunan masih ada. Ada yang masih utuh ataupun tinggal dinding saja. Salah satu warga yang dulu pernah tinggal di tempat tersebut menjadikan tanahnya sebagai lahan pertanian padi.
- Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kabupaten Bandung Barat.

Bencana pergerakan tanah melanda Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, pada 19 Februari 2024, mengakibatkan belasan bangunan rusak berat dan menjadikan kawasan tersebut seketika berubah menjadi “kampung mati”. Sedikitnya 150 jiwa terpaksa mengungsi ke Islamic Center Masjid Agung Cibedug saat itu, setelah retakan tanah dan amblesan merusak permukiman dan mengancam keselamatan warga.
Kepala Desa Cibedug, Engkus Kustendi, mengungkapkan bahwa pergerakan tanah di wilayahnya terasa seperti gempa bumi yang terus berulang. Meskipun tidak selalu terasa secara fisik oleh warga, pergeseran tanah terjadi hampir setiap jam dan dampaknya terlihat jelas dari kerusakan yang ditimbulkan. “Bergesernya seperti gempa, memang tidak selalu terasa, tapi kerusakannya nyata terlihat,” ujar Engkus, Jumat (1/3/2024), dikutip dari Detik Jabar.
Ironisnya setelah setahun lewat dari bencana tersebut tidak ada kepastian relokasi dari pemerintah setempat, Koran Pikiran Rakyat Relokasi Lambat, 48 KK Terkatung-katung – PR Koran menjelaskan kondisi yang tertangani ini. Engkus sebagai Kepala Desa juga menambahkan, hingga kini janji relokasi dari pemerintah belum juga terealisasi, sehingga warga yang terdampak untuk menumpang di rumah sanak saudara. Padahal wilayah terdampak di Desa Cibedug telah resmi ditetapkan sebagai zona rawan bencana, sehingga warga dilarang membangun kembali rumah di lokasi tersebut.
- Desa Mendala, Kecamatan Sirampog, Brebes

Berbeda dengan dua kampung sebelumnya yang telah ditinggalkan sepenuhnya seiring dengan berjalannya waktu, pergerakan tanah di Kecamatan Sirampog, Brebes masih berada dalam status tanggap darurat. Bencana yang terjadi sejak Kamis, 17 April 2025, membuat ratusan warga di Desa Mendala mengungsi setelah rumah-rumah mereka mengalami kerusakan parah. Dalam dokumentasi warga yang beredar, tampak deretan rumah kosong dengan retakan besar di dinding dan lantai. Sebelumnya terdapat 383 jiwa yang tinggal di posko pengungsian.
Wacana terkait relokasi mulai disiapkan oleh kelompok masyarakat (pokmas) dengan mengusulkan dua lokasi alternatif di Desa Buniwah dan Desa Manggis, masing-masing seluas 16.000 dan 9.000 meter persegi. Lokasi ini rencananya akan dibangun perumahan lengkap dengan fasilitas umum. Tetapi penentuan lahan baru masih menunggu hasil kajian dari Badan Geologi yang dijadwalkan turun ke lapangan.
Untuk sementara BPBD Brebes akan membangun hunian sementara (huntara) di depan kantor Desa Mendala sebagai tempat tinggal warga hingga relokasi permanen bisa direalisasikan.
Ketiga kampung ini menjadi gambaran betapa seriusnya masalah pergerakan tanah di Indonesia. Mengusir warga secara perlahan serta menanam ketakutan akan tiap retakan yang muncul di wilayahnya, serta secara langsung merugikan harta benda yang telah dikumpulkan dan diwariskan sejak lama. Bencana yang sering dianggap “tidak secepat longsor” ini justru lebih mengancam karena prosesnya yang lambat, namun merusak secara permanen dan jangka panjang. Ketika tanah terus bergeser, warga tak punya pilihan selain pergi meninggalkan rumah, tanah warisan, dan kenangan hidup mereka.
Baca juga: Peningkatan Tanah Bergerak, Mitigasi Harus Melihat Sudut Lokal
Relokasi bukan hanya tentang pemindahan fisik, tapi juga pemulihan kehidupan masyarakat disana, baik dalam konteks cara bersosial ataupun terkait mata pencaharian. Sayangnya yang terlihat di Cibedug dan Sirampog, proses ini sering tersendat karena tahapan dan proses pemulihan yang juga begitu panjang, sehingga harus terus bergantung pada kerabat ataupun pada posko pengungsian.(Kori/Nugrah)
Sumber: