Sorong dan Toponimi Penanda Bahaya

Sorong
Ekspedisi Jawadwipa

Sorong memiliki gugusan pulau indah yang begitu menghipnotis setiap pasang mata ketika memandanginya. Raja Ampat menjadi primadona bagi para wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Sebongkah surga di tanah Papua begitu tersohor namanya di seluruh belahan dunia. 

Bila kita ingin mengunjungi Raja Ampat, terlebih dahulu kita menginjakkan kaki di Kota Sorong. Kota ini menjadi tempat singgah para wisatawan yang akan berkunjung ke Raja Ampat. Dari Kota Sorong, kita bisa menaiki kapal cepat yang berlayar hingga Pelabuhan Waisai, Raja Ampat. 

Belum sampai ke Raja Ampat saja, begitu banyak hal menarik yang sangatlah berharga untuk diceritakan. Bermula dari nama Sorong, cerita ini akan dimulai dengan menguak hal yang sering luput dari perhatian kita. 

Sorong dan Toponimi Penanda Bahaya

Berdasarkan asal usulnya, nama Sorong berasal dari bahasa Biak “Soren” yang artinya laut yang dalam dan bergelombang. Seiring dengan perjalanan waktu, kata Soren dilafalkan oleh para pedagang Thionghoa, Maluku, Sanger Talaut, dan Misionaris dari Eropa, dengan sebutan Sorong.

Toponimi wilayah Sorong yang diartikan sebagai laut yang dalam dan bergelombang, membuat disasterchannel.co menjadi penasaran.

Dilihat dari morfologinya daerah Papua, tempat dimana wilayah Sorong berada, bentuknya menyerupai kepala burung. Bentuk ini dapat dikatakan unik karena memiliki ciri khas yang begitu berbeda dari bentuk pulau lainnya. 

Bentuknya yang unik tak dapat dipisahkan dengan aktivitas tektonik yang membuat bentang alam di Papua Barat sangat indah. Di balik keindahan dan keunikannya, tersimpan pula potensi bencana yang perlu diwaspadai. 

Papua Barat terletak di daerah timur wilayah Indonesia. Struktur tatanan lempeng tektonik Papua dan Papua Barat terletak pada pertemuan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Pasifik (lempeng Caroline) yang bergerak dari utara relatif ke arah barat menyusup di bawah lempeng Hindia-Australia, dimana lempeng Hindia Australia menyusup dibawah lempeng Eurasia di sebelah barat Papua dan Papua Barat. Kondisi ini menyebabkan wilayah Papua dan Papua Barat banyak digoncang gempabumi (Richard Lewerissa, 2013) 

Terdapat sejumlah lipatan dan sesar naik sebagai akibat interaksi (tumbukan) antara kedua lempeng tektonik, salah satunya adalah Sesar Sorong (SFZ). Sesar Sorong merupakan zona sesar yang membentuk kelurusan lembah dalam dan sempit, berarah hampir barat-timur yang memotong bagian utara kepala burung (Visser dan Hermes, 1962). 

Sesar Sorong merupakan zona sesar yang membentuk kelurusan lembah dalam dan sempit, berarah hampir barat-timur yang memotong bagian utara kepala burung (Visser dan Hermes, 1962). Sesar tersebut memanjang 400km mulai dari baratlaut Manokwari, memotong bagian utara kepala burung, sampai dengan Kota Sorong dan menerus ke Selat Sagewin di selatan Pulau Batanta. Aktifitas Sesar Sorong ditunjukkan oleh adanya kegempaan dangkal di kawasan tersebut. Pada 3 Januari 2009, gempabumi dangkal (kedalaman 35 km) dengan kekuatan M7,6 diikuti gempa susulan dengan kekuatan M7,4 (USGS, 2009) telah melanda kawasan di sebelah barat Kota Manokwari.  

Kabupaten Tambrauw mengalami kejadian gempa terbanyak sepanjang 2014 dibandingkan kabupaten lainnya (Markus H. L, 2019). Tercatat oleh Stasiun Geofisika Sorong, bahwa terjadi 745 gempa bumi di Papua Barat pada tahun 2019, didominasi oleh gempa dengan magnitude <4 dan gempa dangkal < 60 KM yang diakibatkan oleh aktivitas sesar Sorong, dengan 17 gempabumi yang dirasakan dengan skala MMI II sampai III (BMKG). 

Toponimi yang diwariskan sejak dahulu kala oleh leluhur masyarakat di Sorong, telah menginsyaratkan tanda bahaya geologi berupa gempa dan tsunami. (LS)

Tinggalkan Balasan