Sepertinya tidak ada yang tidak tahu mengenai Kerajaan Majapahit, kerajaan Hindu Buddha terbesar yang ada di Indonesia pada jaman dahulu. Kerajaan ini berpusat di Jawa Timur berdiri sekitar tahun 1293 – 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 – 1389 M. Kekuasaan kerajaan ini terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Diperkirakan Kerajaan ini memiliki pusat kerajaan yang ada di dekat Trowulan, letaknya kurang lebih 10 KM di sebelah barat daya Kota Mojokerto sekarang. Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya penemuan di desa-desa sekitar Trowulan seperti yang dikemukaan oleh penelitian Safitri S., 2015 Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya penemuan di desa-desa sekitar Trowulan berupa fondasi bangunan, candi, gapura, reservoar air dan umpak-umpak rumah. Hasil penelitian memastikan bahwa ibukota Majapahit dikelilingi oleh jaringan jalur alir yang lebar dan dalam serta mempunyai jalan keluar ke arah barat menuju ke kali Brantas. Adapun sumber airnya berasal dari sungai-sungai yang ada di sebelah selatan ibukota.

Kerajaan yang begitu besar ini seiring berjalannya waktu mengalami kemunduran. Setelah Raja Hayam Wuruk wafat pada 1389 M bagian bagian kerajaan mulai melepaskan diri. Disusul dengan terjadinya perang saudara atau perang Paregreg pada tahun 1405-1406 M antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana.
Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468 M. Tahun 1478 M dianggap sebagai keruntuhan kerajaan ini berdasarkan sengkalan ”sirna ilang krtaning bhumi” yang beraangka tahun 1400 Saka (1478 M). kemudain munculnya Kesultanan Demak pada tahun 1518 dan berakhirnya Kerajaan Majapahit di tahun yang sama.
Pudarnya Pesona Majapahit Yang Dirundung Bencana
Teori yang dikemukaan Sampurno mengenai kemunduran majapahit sangat berbeda. Menurut Sampurno runtuhnya mahapahit sebagai akibat terlanda bencana alam berupa erupsi gunungapi atau berhubungan dengan proses pendangkalan kali Brantas yang menghambat lalu lintas air. Pelabuhan mengalami sedimentasi, sehingga mengurangi kelancaran hubungan Majapahit dengan sekitarnya.
Penelitian geologis oleh pihak Institut Teknologi Bandung pada tahun 1980 (dalam penelitian Safitri, 2015) menyebutkan suatu teori bahwa hancurnya Majapahit itu karena ledakan gunung api yang disertai dengan banjir besar. Kemungkinan besar adalah ledakan Gunung Welirang atau Anjasmoro, sedangkan kemungkinan kedua adalah aliran lahar dari piroklastik yang berasal dari Gunung Welirang.
Arah aliran maut ini diperkirakan menuju ke Utara dan Barat Laut, melalui kali Gembolo dan anak-anak Sungai Brantas lain yang berasal dari Gunung Welirang. Disamping aliran benda-benda lepas hasil longsoran dari kompleks Gentonggowahgede dapat saja meluncur melalui lembah Jurangcelot dan langsung menghambur ke daerah Jatirejo dan tumpahnya persis di daerah pusat Kerajaan Majapahit. Longsoran itu dapat diawali oleh gempa hebat dan banjir sungai yang besar.

Majapahit yang merupakan kerajaan maritim terganggu kehidupannya akibat bencana banjir yang melanda. Menurut Sampurno (Pikiran Rakyat, 2004), selain faktor sejarah, peranan geologi dalam hal ini bencana alam adalah salah satu sumber keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit bukan hanya disebabkan faktor konflik kerajaan yang ada saat itu, tetapi faktor geologi juga ikut bermain. Alasannya, pusat Kerajaan Majapahit pernah dinyatakan dilanda aliran pasir dan kerikil yang mengakibatkan pendangkalan muara Sungai Brantas dan majunya pantai delta sungai tersebut. Hipotesis Sampurno ini didasarkan kepada analisis topografi dan penelitian keadaan daerah sekitar pusat Kerajaan Majapahit yang ditinjau dari lokasi, geomorfologi, dan geologi daerah pusat kerajaan tersebut.
Beberapa teori mengenai kemunduruan Majapahit sangat erat kaitannya dengan politik dan bencana. Bahkan terdapat beberapa naskah kuno yang menggambarkan mengenai peristiwa bencana yang pernah terjadi di Majapahit.
Seperti yang tertera pada Prasasti Waruṅgahan yang merupakan sebuah prasasti yang ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa Kuno ini berasal dari tahun 1227 Ś/1305. Prasasti dari masa awal Majapahit ini berisi uraian penetapan ulang anugerah sīma oleh Raja Śrī Maharaja Nararyya Sanggramawijaya telah memberikan sebuah piagam peresmian penetapan ulang daerah Waruṅgahan menjadi sebuah sīma. Alasannya adalah karena prasasti sebagai bukti penetapan dahulu hilang ketika terjadi gempa bumi. Dalam prasasti ini terdapat berita bahwa “°ika taŋ praśāsti hilaŋ ri kāla niŋ bhūmi kampa”, yang berarti praśāsti itu (telah) hilang ketika bhūmi berguncang.
Baca juga: Menelisik Jejak Bencana dalam Situs Kumitir
Kejadian bencana pun ada dalam naskah Pararaton juga terdapat penggambaran mengenai bencana “…Liṇḍuṅ bhūmi ktug hudan hawu gěṛḥ kilat awiḷtan iŋ nabhastala,” yang berarti gempa bumi hingga hujan abu, guruh, halilintar bersambung sambungan di udara.
Adalah sebuah hal yang menarik jika kita terus menelusuri jejak sejarah untuk mengetahui kebenaran yang ada. Seperti halnya menelusuri jejak sejarah Kerajaan Majapahit yang banyak dibalut oleh kisah bencana. (Lien Sururoh)
Sumber:
Safitri, S. (2015). Telaah Geomorfologi Kerajaan Majapahit. Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 4(1).
Sambodo, G. A. (2018). Prasasti Waruṅgahan sebuah data baru dari masa awal Majapahit. AMERTA, Journal of Archeology Research and Development, 36(1).
Satyana, A. H. (2007, November). Bencana Geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: Hipotesis Erupsi Gununglumpur Historis Berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; Folklor Timun Mas; Analogi Erupsi LUSI; dan Analisis Geologi Depresi Kendeng-Delta Brantas. In Proceedings Joint Convention Bali (pp. 1755-1315).