Perawat dalam Bencana

Ilustrasi Perawat Melakukan Triase, Foto: Dok. Freepik.com
Ekspedisi Jawadwipa

Dalam situasi krisis ini, tenaga kesehatan khususnya perawat memegang peranan yang sangat penting dalam pemulihan bencana. Bencana, baik yang bersifat alam maupun non-alam, merupakan peristiwa yang dapat mengancam keselamatan jiwa, kerusakan lingkungan, serta gangguan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Perawat tidak hanya berperan dalam memberikan konseling keperawatan kepada korban bencana, tetapi juga terlibat dalam setiap tahap penanggulangan bencana, mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, sampai dengan rehabilitasi.

Dalam situasi kebencanaan krisis kesehatan dapat terjadi. Jumlah pasien yang membludak, keadaan abnormal dan situasi serba darurat. Memaksa petugas kesehatan untuk mempunyai kapasitas ekstra dalam proses penanganan bencana. Sebagai tenaga profesional yang berada di garis depan pelayanan kesehatan, para petugas harus untuk memiliki kompetensi khusus dalam menghadapi situasi darurat dan bencana. 

Perawat dalam Bencana

perawat
Ilustrasi petugas kesehatan saat bencana, Foto: dok. rumah-perawat.blogspot.com

Peran mereka mencakup berbagai aspek dan tidak semua petugas kesehatan dapat diturunkan dalam kebencanaan. Pembagian skill khusus serta pengklasifikasian tenaga perawat menyesuaikan dengan tahapan bencana, baik pra, saat maupun pasca. Seperti melakukan triase, memberikan pertolongan pertama dapat dilakukan saat tanggap darurat tetapi untuk mendukung pemulihan psikososial korban dilakukan saat masa pemulihan dan rehabilitasi

Dalam situasi bencana, dukungan emosional dan konseling dapat menjadi sangat berarti bagi penyintas bencana. Aktivitas dapat membantu membangun solidaritas dan dukungan sosial.  Ini bukan hanya tentang memulihkan kerusakan fisik, tetapi juga tentang memulihkan jiwa dan semangat.

Dalam wawancara dengan salah satu perawat yang khusus menangani kebencanaan, Ibu Eni Nuraini menyampaikan bahwa “Tantangan terbesar perawat dalam situasi bencana adalah kurangnya tenaga keperawatan yang mumpuni dan telah terlatih ketika bencana terjadi di suatu daerah, seperti yang kami alami saat gempa di Lombok.

Minimnya petugas yang memiliki pelatihan khusus dalam penanggulangan bencana menyebabkan proses respons awal menjadi terhambat. Bahkan, dalam situasi genting seperti gempa di Lombok, pelatihan harus dilakukan ulang di tengah kondisi yang tidak kondusif. Hal ini tentu memperlambat penanganan korban secara optimal.

perawat
Pelatihan Pertolongan Pertama
Baca juga: Mardiyah, Perawat Muda dalam Penanganan Bencana

Berbeda halnya dengan peristiwa tsunami di Banten, di mana tenaga kesehatan yang bertugas telah memiliki pelatihan sebelumnya. Mereka hanya perlu diaktifkan kembali melalui sistem yang telah disiapkan, sehingga respons terhadap bencana dapat dilakukan lebih cepat dan terkoordinasi.

Salah satu hal penting dalam konteks psikososial masyarakat Indonesia dalam menghadapi bencana adalah sikap religius dan kepercayaan yang kuat terhadap takdir Tuhan. Nilai-nilai keagamaan yang tertanam dalam kehidupan masyarakat membuat mereka cenderung menerima bencana sebagai bagian dari kehendak Ilahi yang harus dijalani dengan ikhlas.

Sikap ini berkontribusi besar dalam membentuk makna positif terhadap peristiwa bencana. Meskipun mengalami kehilangan dan penderitaan, banyak masyarakat memaknainya sebagai ujian atau bagian dari perjalanan spiritual. Hal ini berdampak pada minimnya gejala trauma berkepanjangan serta mendukung proses pemulihan psikososial yang lebih cepat dibanding masyarakat yang tidak memiliki pegangan nilai spiritual yang kuat.

Pemahaman ini juga menjadi refleksi khusus bagi perawat sebagai metode untuk membantu penanganan psikososial masyarakat pasca bencana.

Penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah