Situasi perubahan iklim nyatanya makin berdampak dan makin genting. Memaksa manusia berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk mengatasi kerentanan yang terjadi akibat perubahan iklim yang mengusik tempat tinggal, serta lokasi mencari makan nya. Kekeringan terjadi, kebakaran hutan makin masif di bagian pesisir, garis pantai makin samar dan mulai menyatu dengan wilayah daratan.
Dikutip dari Migration Policy Institute, Perubahan iklim memang jarang menjadi alasan utama orang bermigrasi, tapi semakin sering muncul sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan. Biasanya alasan ekonomi jauh lebih banyak, bahkan di negara yang terdampak iklim sekalipun. Contohnya, di El Salvador, Guatemala, dan Honduras, hanya 6% rumah tangga yang mengaitkan migrasi dengan faktor lingkungan. Di Afrika Tengah, hanya 5% migran menyebut alasan lingkungan secara langsung.Â
Namun ketika ditanya apakah kondisi lingkungan mempengaruhi keputusan mereka, 50% responden di wilayah itu menjawab iya. Ini menunjukkan bahwa meskipun bukan penyebab utama, perubahan dari faktor iklim tetap menjadi bagian dari cerita migrasi.
Migrasi Manusia Akibat Perubahan Iklim

Berbeda dengan bencana alam yang datang dengan waktu serempak sehingga memungkinkan orang-orang untuk mengambil tindakan cepat untuk mengungsi dan berpindah dalam jangka waktu pendek atau panjang. Perubahan iklim berlangsung secara lambat dan panjang, kata adaptasi juga malah sering dilekatkan pada penyesuaian dengan tempat tinggal yang kondisinya hampir tidak layak.
Mungkin bagi sebagian orang migrasi perubahan iklim adalah solusi, meninggalkan sebuah tempat yang tidak layak huni dan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup kemudian beralih mencari tempat baru yang lebih baik dan membawa harapan. Namun kondisi sebenarnya banyak yang enggan untuk meninggalkan tanah lahirnya meskipun dengan banyak kekurangan, di Selandia Baru misalnya yang berniat untuk bereksperimen dengan skema visa “pengungsi iklim” untuk sekitar 100 penduduk Kepulauan Pasifik setiap tahun.
Kebijakan tersebut gagal, terutama karena penduduk Kepulauan Pasifik tidak ingin memanfaatkannya, mereka memilih untuk tetap tinggal di tempat asal mereka daripada berpartisipasi dalam program visa, mereka mengakui bahwa rumah leluhur dan spiritual mereka akan runtuh akibat kenaikan muka air laut.
Mobilitas merupakan salah satu respons terhadap dampak perubahan iklim, tetapi bukan sesuatu yang tak terelakkan, dan perpindahan ini juga tidak selalu berdampak negatif. Karena perubahan iklim mempersulit penghidupan dan memperparah bencana, perpindahan penduduk kemungkinan akan meningkat dan menjadi lebih tak terduga. Kebijakan pemerintah diperlukan agar dapat membantu individu tetap tinggal di tempat atau berpindah dengan cara yang lebih aman dan legal.

Langkah migrasi yang merupakan bagian dari strategi adaptasi untuk perubahan iklim membutuh skema jangka panjang dan harus mulai dipikirkan, sebab banyak wilayah Indonesia yang hampir tenggelam dan tidak layak huni. Model menunjukkan bahwa migrasi iklim internal terbesar di masa depan akan terjadi di Afrika sub-Sahara dan kawasan Asia-Pasifik, yang keduanya sangat padat penduduk dan rentan terhadap perubahan iklim, termasuk didalamnya Indonesia.
Baca juga: Perubahan Iklim dan Bencana, Bagaimana Hubungannya ?
Perubahan iklim semakin lama akan mengikis ketahanan masyarakat dalam menghadapi lingkungan jika tidak didukung dengan solusi jangka panjang dari pemerintah. Sebab migrasi lambat laun akan tetap terjadi baik individual maupun secara komunal.(Kori.Nugrah)