Mangrove, Benteng Alami Tangkal Tsunami

Mangrove
hutan mangrove, sumber: conservation.org
Ekspedisi Jawadwipa

Mangrove yang merupakan pohon yang ada dilaut yang dapat menjadi benteng alami dalam menangkal tsunami. Sambil menyenderkan diri di batang pohon rindang dan tinggi pada siang hari begitu mengisi energi. Lelah seolah sirna ketika menghirup udara segar di bawah pohon rindang. Keberadaan pohon seolah tidak bisa dipisahkan dari hidup kita, bahkan ada kaitannya dengan kejadian bencana. 

Kumpulan tumbuhan spesifik yang tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir daerah tropis atau biasa kita kenal dengan sebutan hutan mangrove memiliki fungsi luar biasa dalam menangkal bencana tsunami.

Mangrove

Secara fisik, hutan yang tumbuh di wilayah pesisir dapat menahan pukulan ombak laut, angin dan badai, sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap pemukiman masyarakat pesisir dan juga mencegah abrasi pantai. Beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. 

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara dengan risiko bencana tsunami yang tinggi. Sejarah kejadian tsunami mengindikasikan bahwa cepat atau lambat sebuah gempabumi dan tsunami besar kemungkinan akan terulang kembali. Hutan mangrove dapat menjadi salah satu solusi untuk meredukasi kerugian. Penelitian Ritha Riyandari, 2017 mengemukakan bahwa ketinggian tsunami di pantai bergantung pada sumber tsunami (magnitude gempa, jarak ke sumber), batimetri dan morfologi pesisir, hutan pantai memiliki peran dalam mengurangi dampak tsunami, dalam batas-batasnya. Begitu pula efektivitas hutan bergantung pada lebar, kepadatan, struktur hutan dan karakteristik pohon (tinggi dan diameter). 

Beberapa faktor yang menentukan hutan mangrove  dapat mereduksi tsunami di antaranya adalah lebar hutan, kemiringan hutan, kerapatan pohon, diameter pohon, proporsi biomassa di atas permukaan tanah yang terdapat di akar, tinggi pohon, tekstur tanah, lokasi hutan, tipe vegetasi dataran rendah yang berdekatan dengan vegetasi mangrove, keberadaan habitat tepi pantai (padang rumput padang lamun, terumbu karang, bukit), ukuran dan kecepatan tsunami, jarak dari kejadian tektonik, dan sudut datang tsunami yang relatif terhadap garis pantai.

Baca Juga: Vetiver, Pohon Penangkal Longsor dan Erosi

Selanjutnya dijelaskan lebih detail bahwa peredaman energi gelombang tsunami terjadi sangat cepat dengan bertambahnya jarak dari depan mangrove. Laju peredaman ini juga dipengaruhi oleh kerapatan hutan tersebut, dimana nampak bahwa untuk hutan pantai dengan kerapatan tinggi normalisasi energi sudah menuju nol pada jarak 30 meter dari depan mangrove, sementara untuk kerapatan rendah normalisasi energi masih bernilai 0,285 pada jarak 50 meter dari depan mangrove.

Penelitian tersebut menegaskan bahwa keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir laut cukup efektif untuk mengurangi efek tsunami. Namun sayangnya, berdasarkan laporan Environmental Justice Foundation mengemukakan bahwa 40 persen tutupan bakau global berada di Asia, tetapi kawasan ini juga mengalami kehilangan bakau tertinggi selama dekade terakhir, terutama dikaitkan dengan pengembangan infrastruktur akuakultur dan pariwisata. Sebagai contohnya, di Indonesia memiliki kawasan bakau terbesar di antara negara mana pun, dengan lebih dari 3 juta hektar hutan bakau (30% dari total global), tetapi juga menyumbang hilangnya lebih dari 1,1 juta ha hutan bakau sejak tahun 1980.

Keberadaan hutan mangrove begitu terancam dengan perkembangan sektor perikanan laut dan akuakultur. Berkurangnya luasan hutan bakau mengakibatkan tanggungan beban berat akibat tsunami yang begitu besar. Kerugian material para nelayan di Samudera Hindia diperkirakan mencapai $520 juta US Dolar. Di Aceh, yang merupakan daerah yang paling dekat dengan sumber gempa pemicu tsunami 2004 mengalami kerusakan dan kehancuran pada tambak sebesar 20.000 hektar.

Berbagai kegiatan manusia seperti penebangan pohon, pertanian dan perluasan industri akuakultur begitu banyak mereduksi keberadaan hutan mangrove. Padahal hutan mangrove tidak hanya memecah dampak akibat terjangan gelombang tsunami, tetapi juga menjebak puing-puing dan mencegah orang hanyut ke laut, yang merupakan penyebab utama kematian. 

Padahal bila dimaksimalkan, peran hutan pantai memiliki fungsi yang sangat penting dalam memainkan peranan sebagai mata rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menumpang kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Perlu diketahui bahwa tumbuhan tersebut tidak hanya melengkapi pangan bagi biota aquatik saja, akan tetapi juga dapat menciptakan suasana iklim. Tumbuhan ini juga dapat menjadi perisai penyelamat pada peristiwa badai atau siklon tropis. Pelestarian dan menanam kembali mangrove di masa depan dapat mengurangi banyak sekali dampak akibat bencana baik iklim maupun tsunami. (LS)

Sumber:

Riyandari, R. (2017). Peran Mangrove Dalam Melindungi Daerah Pesisir Terhadap Gelombang Tsunami. Jurnal Sains dan Teknologi Mitigasi Bencana12(1), 74-80.

https://ejfoundation.org/resources/downloads/tsunami_report.pdf.PdfCompressor-1022348.pdf

http://oseanografi.lipi.go.id/dokumen/oseana_xxvi(4)13-23.pdf

One thought on “Mangrove, Benteng Alami Tangkal Tsunami

Tinggalkan Balasan