Ketidakadilan dalam Bencana Ekologi Desa Timbulsloko, Demak

Ilustrasi bencana ekologi, Foto: VasjaKoman
Ekspedisi Jawadwipa

Bencana ekologi dan juga isu krisis iklim global yang semakin mendesak, memaksa banyak masyarakat di belahan dunia berusaha beradaptasi di tengah krisis iklim yang melanda dan berdampak nyata pada penghidupan seperti kondisi cuaca untuk pertanian yang tak menentu kemudian yang paling parah banjir rob yang menggusur ruang hidup masyarakat pinggir laut.

Masyarakat pesisir menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terdampak. Desa Timbulsloko, yang terletak di wilayah pesisir Kabupaten Demak, Jawa Tengah, menjadi cerminan nyata dari bagaimana bencana ekologis tidak hanya menggerus lingkungan fisik, tetapi juga melahirkan ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural. 

Ketidakadilan dalam Bencana Ekologi Desa Timbulsloko, Demak

Abrasi, rob, dan penurunan muka tanah telah menjadikan desa ini lambat laun “tenggelam,” memaksa warga hidup berdampingan dengan air yang terus menerobos masuk ke pemukiman dan lahan pertanian mereka.

ekologi
Foto rumah di Desa Timbulsloko, Foto: Dok. kbr.id

Sayung yang merupakan daerah kecamatan Timbulsloko, Demak, dulunya mayoritas warganya bekerja sebagai petambak ikan bandeng. Sejak 1980-an, tren tambak udang windu mulai berkembang karena nilai jualnya tinggi, menggantikan bandeng secara perlahan. Seiring perubahan ini mulai muncul masalah lingkungan seperti abrasi pesisir, yang diperparah oleh perubahan iklim dan meningkatnya tinggi gelombang laut. Hal ini akibat alih fungsi lahan pada lahan hutan mangrove dan berubah fungsi menjadi lahan tambak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Tren perubahan lanskap ekologi pesisir yang semula adalah kawasan mangrove menjadi lahan-lahan tambak sebenarnya bukanlah tren baru dan hanya dialami oleh masyarakat Demak, hampir seluruh pantai utara dan terjadi berpuluh tahun silam. Sehingga apa yang terjadi kini adalah suatu akumulasi krisis ekologi yang sedemikian lamanya, eksploitasi mangrove terus berjalan seiring dengan pemanfaatan dalam skala besar yang terjadi pada tahun 1972, dimana mesin-mesin berat mulai digunakan.

ekologi
Foto area persawahan Desa Timbulsloko, Foto: Dok. Kompas

Di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, ribuan hektar lahan yang dulu produktif dengan sawah, tambak, dan perikanan telah lenyap dilahap rob dan abrasi sejak tahun terakhir. Lebih dari 140 kepala keluarga (KK) hidup di tengah genangan air setiap hari, jalanan yang berupa papan-papan kayu sebagai akses mobilitas masyarakat menjadi gambaran betapa bencana ekologis yang dihadapi masyarakat tengah terjadi di depan mata tanpa bisa dihindari.

Baca juga: Eksistensi Kapulaga di Tengah Krisis Iklim

Ketidakadilan ekologis dan antargenerasi dalam keputusan-keputusan yang diambil pada masa lalu dengan adanya alih fungsi lahan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan pembangunan pesisir yang tak terkendali, kini harus ditanggung oleh generasi yang hidup saat ini. Anak-anak Timbulsloko tumbuh besar dalam kondisi geografis yang terendam, tanpa akses jalan normal, belum lagi kelompok-kelompok rentan lain seperti disabilitas yang tidak mendapat aksesibilitas yang layak sehingga harus berdiam diri dalam rumah.(Kori/Nugrah)

Sumber:

N. C. Dirgantara et al., Ecological Justice for Timbulsloko: A Disaster Jurisprudence Approach, TEMALI: Jurnal Pembangunan Sosial 7, no. 1 (Januari–Juni 2024): 57–64.

Muhammad Yusuf, Dari Hutan Mangrove Menjadi Tambak, Journal of Indonesian History 12, no. 1 (2023): 35–45, https://journal.unnes.ac.id/sju/jih/article/view/52898.