Peran media dalam penanggulangan bencana menjadi sorotan penting dalam Indonesia Disaster Management Summit (IDMS) yang digelar pada tanggal 2-3 Desember 2025 oleh Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebencanaan (Kemenko PMK) di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kegiatan ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan dari unsur Pentahelix, mulai dari pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, hingga media, untuk membahas penguatan kolaborasi dalam menghadapi risiko bencana di Indonesia.
Forum ini menegaskan bahwa media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi saat bencana terjadi, tetapi juga memegang peran strategis dalam mitigasi, kesiapsiagaan, dan pemulihan pascabencana. Terlebih, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan tingkat ancaman bencana tertinggi di dunia.
Indonesia Disaster Management Summit

Diskusi dalam Indonesia Disaster Management Summit dibagi ke dalam masing-masing unsur Pentahelix, yaitu pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media. Khusus pada unsur media, para peserta membahas sejumlah isu penting yang berkaitan langsung dengan praktik peliputan kebencanaan di Indonesia. Beberapa kasus peliputan bencana besar turut diangkat sebagai bahan refleksi bersama, mulai dari gempa bumi, hingga letusan gunung api yang terjadi di berbagai wilayah terutama banjir bandang yang baru-baru ini terjadi di Sumatera.
Dari data yang dihimpun dan dibahas dalam forum tersebut, terlihat adanya ketimpangan dalam intensitas peliputan media pada fase pra-bencana, saat bencana, dan pascabencana. Peliputan media cenderung memuncak pada fase tanggap darurat, ketika peristiwa bencana sedang berlangsung dan menarik perhatian publik secara luas. Sementara itu, pemberitaan pada fase pra-bencana, seperti edukasi risiko, mitigasi, dan kesiapsiagaan masyarakat, serta fase pasca bencana yang mencakup proses pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi, justru relatif lebih sedikit mendapat perhatian.
Kondisi ini dinilai menjadi salah satu tantangan besar dalam membangun budaya sadar bencana yang berkelanjutan. Padahal, fase pra-bencana memiliki peran penting dalam upaya pencegahan dan pengurangan risiko, sementara fase pascabencana tidak kalah krusial untuk memastikan keadilan bagi penyintas serta mendorong pembangunan kembali yang lebih tangguh.
Para peserta diskusi menyebut bahwa ketimpangan intensitas peliputan antara fase pra, saat, dan pasca bencana dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah kecenderungan minat publik yang paling tinggi muncul hanya ketika bencana sedang terjadi. Perhatian masyarakat yang memusat pada situasi darurat ini turut mempengaruhi statistik jumlah pembaca, penonton, serta tingkat keterlibatan (engagement) di berbagai platform media.
Dalam praktiknya, data statistik dan rating tersebut menjadi salah satu pertimbangan utama bagi banyak media untuk menentukan fokus pemberitaan, mengingat keberlangsungan media juga sangat bergantung pada atensi audiens dan pemasukan iklan. Akibatnya, isu-isu yang bersifat preventif pada fase pra-bencana maupun isu pemulihan pada fase pasca bencana sering kali tersisih karena dianggap kurang menarik secara komersial, meskipun keduanya memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pengurangan risiko dan pembangunan ketangguhan masyarakat.

Dalam diskusi tersebut, unsur media juga menyampaikan sejumlah rekomendasi agar porsi pemberitaan pada fase pra dan pasca bencana dapat ditingkatkan. Salah satunya adalah dengan mendorong pemerintah untuk mulai melakukan belanja media kebencanaan secara lebih bijak dan terarah, khususnya untuk mendukung kampanye mitigasi, kesiapsiagaan, serta edukasi pemulihan pascabencana.
Dukungan ini dinilai penting agar media memiliki ruang dan sumber daya yang memadai untuk memproduksi konten kebencanaan secara lebih konsisten, tidak hanya saat krisis terjadi.
Baca juga: WPS – PRB: Menggeser Logika Keamanan Indonesia dari Negara ke Insani
Rekomendasi tersebut juga diiringi dengan komitmen dari pihak media untuk memperbaiki cara pengemasan berita, sehingga isu-isu sebelum dan sesudah bencana dapat disampaikan secara lebih menarik, relevan, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan pendekatan visual yang kreatif, penguatan narasi humanis, serta penggunaan data yang kuat, pemberitaan kebencanaan di fase non-darurat diharapkan mampu tetap menarik minat publik sekaligus meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya mitigasi dan proses pemulihan.
Kegiatan ini ditutup dengan komitmen bersama untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam membangun budaya sadar bencana.(Kori/Nugrah)






