Gangsiran aswatama yang ada di daerah Dieng merupakan warisan jaman dahulu. Selain itu daerah Dieng selain dikenal oleh pesona alamnya yang memikat lewat kabut serta kawah aktif, Dataran Tinggi Dieng juga menyimpan jejak peradaban kuno yang luar biasa. Di balik hijaunya lereng dan dinginnya udara, berdiri kokoh candi-candi warisan masa lampau yang menjadi saksi bisu kejayaan spiritual dan arsitektur Mataram Kuno.
Selain berupa candi yang difungsikan sebagai tempat peribadatan di masa lalu, ada peninggalan yang unik yang dinamakan Gangsiran Aswatama yang berupa sumur yang letaknya berada di tepi Jalan Raya Dieng-Batur, Banjarnegara, berdekatan dengan Kompleks Candi Arjuna. Gangsiran merupakan terowongan bawah tanah yang dibuat untuk menghubungkan sebuah tempat dengan tempat lainnya.
Dalam bahasa Jawa, “Gangsiran” berarti galian atau terowongan buatan di dalam tanah. Sementara “Aswatama” merujuk pada tokoh pewayangan Mahabharata yang dikenal memiliki kesaktian luar biasa salah satunya adalah kemampuan untuk menghilang ke dalam bumi.
Dari penamaan inilah yang juga mengaitkan Gangsiran Aswatama, dengan Raden Aswatama dalam cerita wayang Baratayuda yang hendak membunuh Raden Parikesit dengan membuat galian. Dan inilah yang menjadi cikal bakal cerita mitos pembuatan dari Gangsiran Aswatama sendiri.
Gangsiran Aswatama: Mitigasi Perairan Mataram Kuno di Pegunungan Dieng

Namun lebih lanjutnya, Otto Sukanto dalam bukunya Dieng Poros Dunia menyebut bahwa Gangsiran Aswatama merupakan hasil karya Dinasti Mataram Kuno (Sanjaya) yang dibangun sebagai solusi terhadap persoalan air. Ia menjelaskan bahwa kawasan percandian di Dieng diduga pernah tergenang oleh air Telaga Balekambang. “Dimungkinkan kompleks percandian di Dieng itu pernah tergenang atau tenggelam oleh telaga Balekambang,” tulisnya. Untuk mencegah kawasan candi terendam, dibuatlah galian bawah tanah yang berfungsi mengalirkan kelebihan air dari telaga tersebut.
Dikutip dari Historia, pembangunan candi di masa lalu sudah seharusnya mengikuti pedoman yang ada dalam Vastusastra, kitab kuno dari India yang menunjukan bagaimana pembuatan arsitektur suci. Dalam bagian Manasara, salah satu isi kitab tersebut, menjelaskan bahwa tempat suci idealnya dibangun di dekat sumber air seperti danau, sungai, mata air, muara, atau laut, serta berada di kawasan alami seperti puncak bukit, lereng gunung, hutan, atau lembah.
Tentu dalam konteks percandian Dataran Tinggi Dieng menggunakan prinsip ini, serta komplek percandian sendiri juga dikelilingi Pegunungan serta dekat dengan mata air salah satunya Balai Kambang. Sehingga candi-candi tersebut juga tetap mempunyai potensi bencana seperti kiriman air dalam jumlah yang besar. Maka tidak heran jika dibangun sebuah galian atau gangsiran sebagai tempat pembuangan air tersebut agar menjaga candi-candi di Dieng tidak tenggelam. Selain Gangsiran Aswatama terhitung ada 44 gangsiran lain yang ditemukan di Dieng.

Kondisi genangan di kawasan ini tercatat pula dalam sejarah penemuannya. Candi-candi Dieng pertama kali ditemukan pada tahun 1814 oleh H.C. Cornelius dalam keadaan masih terendam air. Baru pada tahun 1856, Van Kinsbergen memulai upaya pengeringan telaga yang menutupi sebagian besar kompleks percandian.
Baca juga: Menggali Perut Bumi di Daerah Rawan Bencana: Dilema Panas Bumi Dieng
Melihat jejak Gangsiran Aswatama Dieng sebenarnya bukan hanya melihat jejak sejarah, tetapi juga sedang melihat potensi kebencanaan yang bisa muncul di daerah Dieng terutama dalam upaya mitigasi banjir dan pengairan di wilayah ini.(Kori/Nugrah)
Sumber:
Setiyoningsih, T., Hayati, K. R., & Hilmi, H. S. (2024). Kompleksitas ide dalam cerita rakyat Gangsiran Aswatama di Dataran Tinggi Dieng. Metalingua: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 9(1)
https://www.historia.id/article/agar-dieng-tak-tenggelam-dabzv
https://infobanjarnegara.com/gangsiran-aswatama-jejak-peradaban-kuno-di-dieng/#google_vignette
https://www.wonosobo.click/2019/11/jejak-gangsiran-aswatama.html