Pasca kejadian banjir bandang serta tanah longsor yang terjadi baru-baru ini, di beberapa wilayah Pulau Sumatera, termasuk Sumatera Barat yang sebagian penduduknya adalah bersuku Minangkabau, menjadi pengingat kembali bahwa masyarakat Minang sebenarnya punya kearifan lokal dan ingatan tentang banjir bandang yang pernah melanda wilayah ini dimasa lalu, yang ini barangkali saat ini terlupa ataupun tidak banyak orang yang melakukannya.
Galodo, Kearifan Lokal Tentang Banjir Bandang Masyarakat Minang
Masyarakat Minang menyebutnya “Galodo” yang dalam KBBI rilisan Kemendikbud diartikan sebagai banjir lahar dingin, dalam penelitian May Nessa Yolanda yang berjudul “Mitigasi Bencana Galodo Berbasis Kearifan Lokal di Nagari Pasia Laweh Kabupaten Tanah Datar” lebih menjelaskan pengertian “galodo” secara luas yaitu sebutan bagi masyarakat Minang dalam menyebutkan banjir bandang, yang diiringi dengan aliran sungai yang deras disertai dengan pasir, kerikil, bebatuan, dan air dalam satu paket dengan kecepatan tinggi dan melanda apa saja yang dilaluinya seperti rumah, orang, lahan pertanian dan lain sebagainya.

Dapat diartikan apa yang disebut galodo sebenarnya merupakan banjir bah yang membawa muatan kayu, ranting, kerikil, batu maupun material lain. Yang penyebabnya bisa datang dari bencana klimatologi maupun vulkanik. Karena dalam riwayatnya masyarakat pernah mengalami case yang bermacam-macam.
Di tahun 1995, galodo terjadi di daerah Solok pada bermula dari besarnya ombak di Danau Singkarak yang membuat bangunan yang ada di pinggiran Danau Singkarak amburadul. Selanjutnya kejadian serupa juga terjadi di Kecamatan Sungai Tarab, Tanah Datar, Sumatera Barat tahun 1979. Galodo ini dipicu curah hujan tinggi, sedikitnya 50 orang meninggal dalam kejadian. Dalam 15 tahun terakhir galodo juga terjadi pada 2009 dan 2024.
Sudah menjadi istilah dalam keseharian orang Minang, galodo bukanlah istilah baru, yang artinya masyarakat sudah paham bahwa di tanah Minang ini menyimpan bencana yang dapat datang kapan saja terutama potensial terjadi setelah hujan besar ataupun dari aktivitas vulkanik gunung-gunung di sekitarnya.
Lebih lanjutnya May Nessa dalam penelitiannya menjelaskan masyarakat telah mengedepankan kearifan lokal dengan menjauhi pinggiran sungai untuk mencegah dampak besar dari bencana galodo. Selain itu banyak sekali kearifan lokal yang dapat diadaptasi di masa kini untuk mitigasi bencana galodo ini, baik mitigasi struktural maupun non struktural.

Dalam mitigasi struktural, masyarakat diantaranya tadi membangun rumah dengan pola terpusat dan menjauhi sungai, kemudian menggunakan rumah gadang yang dibuat dari batang pohon besar dan melengkung yang tujuannya agar dapat bertahan kokoh jika suatu saat dilanda oleh bencana, selain itu jembatan disana juga dibangun tanpa pondasi tengah, tujuannya sederhana sebenarnya agar membuat air yang membawa muatan pasir dan sebagainya tetap dapat mengalir deras, tidak menghalangi, dan membuat jembatan tetap dapat bertahan di derasnya air.
Baca juga: Kawasan Wisata Guci Tegal, Dilanda Banjir Bandang
Dalam mitigasi non struktural, masyarakat menjadikan hujan di rimbo sebagai pengetahuan terkait pertanda bencana alam galodo, jika hujan lebat dengan intensitas tinggi di daerah pegunungan atau hutan tapi airnya tidak mengalir ke sungai, maka masyarakat dapat mengambil tindakan mitigasi untuk berwaspada karena kemungkinan aliran air tertutup longsor.(Kori/Nugrah)






