Keagungan salju yang abadi di Pegunungan Jayawijaya sangat dielu-elu kan oleh negeri Indonesia beratus-ratus tahun lamanya, setiap buku dasar geografi mengajarkan adanya keagungan alam akan pegunungan yang memunculkan salju abadi di tengah geografis yang dilewati garis khatulistiwa sehingga beriklim tropis dan kurang memungkinkan untuk mendapat cuaca dingin yang ekstrim.
Pegunungan Jaya Wijaya mempunyai sejumlah puncak yang berketinggian variatif, antara lain Puncak Jaya (4.884 mdpl), Puncak Mandala (4.760 mdpl), Puncak Trikora (4.730 mdpl), Puncak Idenberg (4.673 mdpl), Puncak Yamin (4.535 mdpl), dan Puncak Carstensz Timur (4.400 mdpl).Pegunungan ini masuk dalam Kawasan Taman Nasional Lorentz. Meskipun terlihat gagah tinggi namun gunung ini bukanlah gunung aktif melainkan gunung yang berada di rangkaian pegunungan karang (limestone).
Jika puncak tertinggi sering disebut Carstenz Pyramid, maka orang Suku Amungme biasa menyebutnya sebagai Gunung Nemangkawi Ninggok yang artinya panah putih atau suci. Bagi orang asli Papua gunung ini merupakan tempat yang disucikan, dipercayai bahwa di sekitar Gunung Nemangkawi hidup makhluk-makhluk suci yang memiliki kekuatan membawa kesuburan, kekayaan, kesembuhan, dan bantuan dalam mengatasi kesulitan hidup. Disamping itu kawasan taman nasional Lorentz merupakan tempat habitat asli berbagai spesies flora fauna seperti Cendrawasih, Anggrek Papua dan Beruang Papua.
Berubahnya nama puncak Gunung di Jayawijaya ini bukan tanpa alasan, jika masyarakat Suku Asli Papua menamainya sesuai dengan tafsiran dengan apa yang mereka lihat dan yakini maka perubahan nama menjadi Puncak Cartenz karena pelaut Belanda Jan Cartenz pada 1623 mendaki gunung bersalju tersebut. Namun setelah kembalinya Papua menjadi bagian dari Indonesia Puncak ini dinamakan Puncak Jaya. Kutipan menarik dari Buku Sarongge tentang situasi penamaan puncak dari Gunung Jayawijaya bahwa “Siapapun yang memegang kekuasaan, akan dipaksakan memamerkan tentang bagaimana cara mengatur aset alam”, hal ini yang terjadi dalam tata kelola penamaan Puncak Jayawijaya.
Alam dan Salju (tak) lagi Abadi di Pegunungan Jaya Wijaya

Membahas mengenai Pegunungan Jayawijaya tak lengkap rasanya untuk membahas keberlangsungan salju abadinya. Telah banyak yang memproyeksikan bahwa keabadian salju di Pegunungan tersebut tinggal menunggu waktu, pasalnya krisis iklim menjadi faktor utama penyebab akan hilangnya salju di Pegunungan Papua.
Rilis dari United Nation di 2023 lalu, menyatakan bahwa bumi sudah pada tahap “Global Boiling”atau pendidihan global, yang tentu dampaknya bukan pada salju di pegunungan Papua namun juga pada glister-glister es di kutub.
Hasil riset analisis paleoclimate berdasarkan inti es yang dilakukan oleh BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat, mencatat bahwa pencairan gletser di Puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif terjadi. Pada tahun 2010 ketika riset ini dimulai, dilaporkan ketebalan es mencapai 32 meter.
Baca juga: Perubahan Iklim dan Bencana, Bagaimana Hubungannya ?
Seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, laju penurunan ketebalan es ialah satu meter per tahun. Kondisi kian buruk tatkala pada tahun 2015-2016, Indonesia dilanda fenomena El Nino kuat dimana suhu permukaan menjadi lebih hangat. Akibatnya, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun.
Sedangkan, pada tahun 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti. Catatan BMKG memperlihatkan bahwa pada periode tersebut, ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. Diperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.
Sementara itu, tutupan es pada tahun 2022 berada di angka 0,23 km2 atau turun sekitar 15% dari luasan pada bulan Juli tahun 2021 yaitu 0,27 km2.
Dalam updatenya dikutip dari Good Stat Diprediksi Punah 2026, Begini Kronologi Lenyapnya Salju di Puncak Jayawijaya – GoodStats, di tahun 1850 dahulu luasan salju di Pegunungan Jayawijaya mencapai 19,7 km2, namun dalam pengamatan terakhir di tahun November 2024 luas salju hanya mencapai 0,11- 0,16 km2 atau setara dengan luas 15 lapangan sepak bola.
Ini tentu akan berpengaruh pada sebagian makhluk hidup (flora dan fauna) yang memang menjadi endemik dari Tanah Papua apalagi yang bergantung suhu dingin Papua, cerita Pegunungan Papua dan salju abadinya bisa jadi esok hanya jadi kisah lama, mengingat betapa masifnya krisis iklim yang terjadi di belahan dunia dan dampaknya pada pegunungan salju satu-satunya Indonesia.
Penulis: Kori Saefatun
Editor: Nugrah Aryatama
Sumber
- https://www.bmkg.go.id/berita/utama/salju-abadi-puncak-jaya-menuju-kepunahan-akibat-perubahan-iklim
- https://buku.kompas.com/read/2283/7-fakta-menarik-gunung-jaya-wijaya-sebagai-gunung-tertinggi-di-indonesia#google_vignette
- https://wonderfulindonesia.co.id/puncak-cartenz-atap-tertinggi-indonesia/
- https://goodstats.id/article/diprediksi-punah-2026-begini-kronologi-lenyapnya-salju-di-puncak-jayawijaya-nC3pf
- https://www.insideindonesia.org/archive/articles/book-extract-sarongge