Bali, yang dikenal sebagai “Pulau Dewata” dengan pesona alamnya, ternyata tidak lepas dari ancaman bencana alam. Jauh sebelum era modern dengan pembangunan masif dan isu perubahan iklim, banjir besar sudah menjadi bagian dari sejarah pulau ini. Meskipun data historisnya terbatas, catatan yang ada dari zaman kolonial Belanda hingga kisah-kisah lisan dari para tetua menunjukkan bahwa air bah bukanlah fenomena baru bagi masyarakat setempat.
Catatan Sejarah yang Terlupakan
​Mencari jejak banjir di Bali pada era kolonial Belanda bagaikan menyusuri lorong waktu yang gelap. Informasi yang tersebar di arsip-arsip lama dan koran-koran berbahasa Belanda memberikan gambaran sekilas tentang musibah ini. Laporan dari awal abad ke-20, sekitar tahun 1907-1932, mencatat beberapa kali kejadian hujan lebat yang menyebabkan luapan sungai.
​Salah satu yang paling parah adalah banjir yang melanda Bali Barat, khususnya wilayah Jembrana, pada tahun 1932. Bencana itu menghancurkan infrastruktur vital, termasuk jembatan-jembatan besi di atas Sungai Puloekan dan Sungai Pengragoan. Akibatnya, jalur transportasi terputus dan perekonomian lokal lumpuh total. Laporan-laporan ini bukan hanya sekadar berita, tetapi juga cerminan dari betapa rentannya Bali terhadap kekuatan alam.
Kisah Lisan dan Peninggalan Leluhur
Sejarah banjir di pulau dewata juga hidup dalam ingatan kolektif masyarakat. Kisah-kisah yang diwariskan secara lisan sering kali menguatkan apa yang ditemukan dalam catatan kolonial. Salah satu cerita yang terkenal adalah banjir besar yang konon melanda wilayah Buleleng pada 22 Oktober 1818. Peristiwa ini diceritakan turun-temurun, menggambarkan bagaimana air bah hampir menenggelamkan seluruh kota dan menjadi salah satu bencana terbesar yang pernah mereka alami.

​Bahkan, dalam manuskrip tradisional yang dikenal sebagai Babad, banjir terkadang disebut sebagai faktor yang mengubah jalannya sejarah. Sebuah Babad menceritakan bagaimana banjir besar di Sungai Unda, Klungkung, secara tiba-tiba menghanyutkan sekelompok pemberontak, sehingga menggagalkan serangan mereka terhadap kerajaan. Ini menunjukkan bahwa di mata leluhur, banjir bukan hanya sekadar bencana alam, melainkan juga sebuah kekuatan supernatural yang dapat menentukan nasib manusia.
Mengapa Bali Rentan Banjir?

Dari dulu hingga sekarang, penyebab utama banjir di pulau dewata tidak banyak berubah. Pulau ini memiliki kondisi geografis yang unik, di mana sungai-sungai berhulu di pegunungan yang tinggi dan mengalir deras ke dataran rendah. Curah hujan yang tinggi saat musim basah sering kali membuat debit air sungai meningkat drastis, sehingga luapan tidak bisa dihindari.
​Sejarah mencatat bahwa masyarakat Bali kuno telah belajar untuk beradaptasi dengan ancaman ini, dengan membangun sistem irigasi Subak yang cerdas. Namun, seiring waktu, urbanisasi dan perubahan penggunaan lahan, seperti alih fungsi daerah resapan, telah memperburuk situasi. Banjir yang terjadi saat ini tidak hanya disebabkan oleh alam, tetapi juga oleh intervensi manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem.
Baca juga: Banjir Melanda Jambi: Riwayat Banjir dan Kerusakan Ekologis
​Mengenang kembali banjir-banjir di masa lalu adalah pengingat penting bagi kita. Bencana alam bukanlah fenomena baru, dan sejarah telah membuktikan bahwa Bali selalu berjuang untuk menghadapinya. Kisah-kisah dari zaman kolonial hingga catatan leluhur menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana manusia perlu hidup selaras dengan alam, bukan melawannya. (Rini – dari berbagai sumber)