Musim liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) selalu menjadi momen favorit bagi para pecinta alam dan pendaki gunung. Memanfaatkan momen libur panjang, setiap akhir Desember sampai awal Januari, ribuan orang berburu udara segar, puncak berkabut, dan keindahan sunrise yang memukau. Di Gunung Merbabu, misalnya, jumlah pendaki yang biasanya sekitar 60 orang per hari meningkat menjadi sekitar 100 orang per hari selama libur Natal 2025, hal ini menunjukkan lonjakan minat masyarakat menikmati pegunungan di akhir tahun.
Namun di balik euforia itu terdapat resiko besar yang dapat menghampiri tanpa dipersiapkan dengan matang. Periode libur panjang juga bertepatan dengan puncak musim hujan di banyak wilayah Indonesia, termasuk Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, dengan potensi curah hujan tinggi hingga sangat tinggi yang dapat berlangsung dari Desember hingga Januari. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan kesiapsiagaan terhadap adanya cuaca ekstrem yang bisa mempengaruhi keselamatan masyarakat dan aktivitas luar ruang.
Di sisi lain, sejumlah gunung seperti Gunung Merapi di Jawa Tengah bahkan dinyatakan berstatus siaga dan pendakiannya dilarang saat Nataru karena potensi aktivitas vulkanik. Namun periode Desember ini masih terdapat pendaki ilegal yang nekat mendaki saat larangan masih diberlakukan, imbasnya 2 pendaki meninggal akibat kelalaian tersebut.
Statistik dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa lebih banyak orang mengalami kecelakaan di gunung selama periode liburan akhir tahun dan musim puncak aktivitas pendakian, sering dipicu oleh faktor cuaca, kurangnya persiapan, atau medan yang sulit.
Mau Naik Gunung?, Waspadai 4 Bencana yang Mungkin Bisa Terjadi
Berikut hal yang perlu diwaspadai saat kegiatan mendaki dan antisipasinya:
- Cuaca yang ekstrim

BMKG berulang kali mengingatkan bahwa periode Nataru bertepatan dengan puncak musim hujan, ditandai hujan lebat, angin kencang, petir, dan badai lokal. Di gunung, perubahan cuaca bisa terjadi sangat cepat dari cerah menjadi hujan deras hanya dalam hitungan menit. Kondisi ini bisa meningkatkan risiko hipotermia dan kecelakaan di jalur pendakian. Solusi yang paling bisa dilakukan untuk mengantisipasi cuaca ekstrim ini adalah meminimalisir mendaki di cuaca yang ekstrim, selalu pantau perhitungan cuaca yang dirilis oleh BMKG atau pihak yang berwenang lain. Meskipun tidak sepenuhnya bisa menangkal hujan antisipasi ini bisa menjadi patokan utama dalam perjalanan.
- Kabut Tebal dan Jarak Pandang Terbatas

Kabut tebal sering muncul saat hujan atau suhu turun drastis. Data tim SAR menunjukkan bahwa banyak kasus pendaki tersesat dipicu oleh jarak pandang yang sangat pendek, terutama di jalur terbuka, savana, atau punggungan gunung. Kondisi ini berbahaya jika pendaki memaksakan perjalanan tanpa navigasi yang memadai. Solusi alternatifnya adalah dengan menghindari trekking di malam hari, selalu persiapkan alat pencahayaan seperti senter yang memiliki masa hidup yang lama.
- Angin KencangÂ

Angin di ketinggian dapat bertiup sangat kencang, terutama saat terjadi badai. Kondisi ini bisa merobohkan tenda, membuat suhu terasa jauh lebih dingin. Solusi alternatif yang bisa dilakukan adalah menghindari mendirikan tenda di area dengan lembahan terbuka, jika memungkinkan dirikan tenda diantara bukit-bukit kecil supaya laju angin tidak berhembus begitu kencang.
Baca juga: 5 Tips Agar Liburan Tetap Aman dari Bencana
- Sambaran Petir di GunungÂ

Mendaki gunung di wilayah terbuka meningkatkan risiko tersambar petir, sebab petir cenderung menyambar objek tertinggi di sekitarnya, terutama di puncak atau punggungan gunung. Contoh tragisnya terjadi baru-baru ini di Gunung Merbabu, di mana seorang pendaki tewas tersambar petir saat cuaca buruk. Untuk mengantisipasinya adalah hindari berada di puncak atau punggungan saat cuaca buruk, jangan berteduh di bawah pohon tunggal tinggi, dan cari perlindungan alami di cerukan tanah rendah.(Kori/Nugrah)






