Banjir Bandang Aceh–Sumut–Sumbar akan melahirkan implikasi struktural, politik dan Tata kelola jika ditetapkan sebagai bencana nasional.
Jika saja banjir bandang yang melanda provinsi Aceh, Sumatra Utara ditetapkan sebagai bencana nasional akan melahirkan implikasi yang luas. Penetapan status nasional otomatis memicu pergeseran komando, sumber daya, dan tata kelola lapangan. Begitu status nasional ditetapkan, komando operasi tanggap darurat berpindah dari gubernur, bupati, atau wali kota kepada pemerintah pusat. Presiden secara khusus memberikan mandat kepada BNPB menjadi pemegang kendali komando.implikasinya bagi Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah kepala daerah tidak lagi menjadi komandan operasi. semua keputusan strategis berada di bawah satu komando nasional dan alur instruksi menjadi vertikal, bukan lagi koordinatif.
Perubahan ini dapat mempercepat mobilisasi lintas provinsi. Namun pada saat yang sama mengurangi ruang diskresi daerah pada saat kritis. Status nasional juga membuat mobilisasi sumber daya menjadi terpusat. Selain membuka akses penuh terhadap pengerahan TNI/Polri dalam skala besar, penggunaan alutsista, helikopter, kapal, dan drone, penetapan status bencana nasional itu juga memungkinkan pemerintah pusat mengerahkan seluruh kementerian teknis terlibat. Bahkan pembiayaan akan dikucurkan pusat melalui Dana Siap Pakai dan skema bantuan lainnya, serta akses terhadap bantuan internasional yang difasilitasi negara.
Dalam kasus banjir bandang multi-provinsi, konsolidasi sumber daya ini sangat relevan karena kerusakan infrastruktur, akses logistik, dan daya tampung daerah biasanya sangat timpang antarwilayah. Namun ada konsekuensi yang tidak bisa dihindari yakni ketiga provinsi ini, akan kehilangan kontrol administratif. Keputusan strategis bukan lagi milik daerah, prioritas, lokasi intervensi, dan distribusi bantuan ditentukan pusat. Peran BPBD berkurang dan hanya menjadi supporting agency.
Konfigurasi ini dapat mempercepat koordinasi tetapi juga berpotensi menimbulkan friksi karena daerah merasa kehilangan posisi sebagai aktor utama di wilayahnya sendiri. Di sisi lain, status nasional memberi akses pemulihan dan rehabilitasi yang lebih besar karena dapat mempercepat pembangunan kembali infrastruktur besar, penanganan permukiman dan relokasi, perhitungan kerugian terpadu, serta intervensi lintas provinsi. Pemerintah pusat juga dapat menentukan prioritas pembangunan pascabencana tanpa memberi ruang penuh bagi preferensi daerah.
Banjir Bandang Aceh–Sumut–Sumbar akan melahirkan implikasi struktural, politik dan Tata kelola jika ditetapkan sebagai bencana nasional.

Implikasi terhadap desentralisasi menjadi tantangan terbesar di ranah politik administratif karena menggunakan status bencana nasional berarti menggeser prinsip dasar desentralisasi yang didefinisikan UU 23/2014, yaitu bahwa daerah adalah pihak pertama yang bertanggung jawab atas penanggulangan bencana. Penetapan status nasional akan mengubah arsitektur ini secara drastis. Dalam konteks ini, desentralisasi akan mengalami “pembekuan sementara”. Ketika pusat mengambil alih, struktur co-governance berubah menjadi command governance. Wewenang operasional daerah dibatasi dan ruang kontrol politik kepala daerah menyempit. Secara teori pemerintahan, langkah ini disebut temporary centralization under emergency, pengerasan komando untuk menyelamatkan nyawa dan memulihkan stabilitas sistem.
Pada saat yang sama, potensi gesekan politik meningkat karena status nasional dapat ditafsirkan sebagai pengakuan kegagalan daerah, delegitimasi kapasitas BPBD, pertanyaan atas alokasi anggaran daerah. Pusat juga memiliki kesempatan untuk menilai (atau menilai ulang) kemampuan pemerintahan daerah; dan dalam provinsi dengan dinamika politik lokal kuat, Aceh dengan otonomi khusus, Sumut dengan kontestasi politik intens, dan Sumbar dengan kultur federalistik, sentimen ini dapat muncul secara signifikan.
Jika status nasional benar-benar dipakai untuk tiga provinsi ini, maka penetapan itu akan menjadi preseden pertama sejak UU 24/2007 berlaku. Efeknya adalah status nasional tidak lagi tabu secara politik. Batasan hubungan pusat–daerah dalam bencana akan berubah dan ekspektasi publik terhadap pusat akan meningkat untuk setiap bencana besar berikutnya. Dengan kata lain, sekali digunakan, status ini akan mendefinisikan ulang praktik kebijakan bencana di Indonesia. Selain itu, penetapan status nasional akan mendorong penilaian kritis terhadap kesiapsiagaan daerah, kapasitas BPBD, efektivitas desentralisasi dana, serta kualitas mitigasi dan tata ruang, sehingga membawa diskursus “siapa gagal” yang tidak dapat dihindari dalam politik publik.

Secara struktural, status nasional mengubah logika sistem, bukan sekadar level respons. Dari perspektif teori multi-level governance, menggunakan status bencana nasional berarti memindahkan sistem penanganan bencana dari model decentralized disaster managementke centralized emergency command. Jika banjir bandang Aceh–Sumut–Sumbar ditetapkan sebagai bencana nasional, struktur komando menjadi satu. Prioritas operasi ditentukan terpusat, koordinasi lintas provinsi berada di bawah otoritas negara. Mekanisme perencanaan pascabencana menjadi nasional, bukan daerah, dan kapasitas administratif daerah menjadi subordinat dari strategi nasional. Dengan demikian, implikasinya bukan hanya teknis melainkan struktural, politis, dan sistemik.
Sementara bagi daerah, ini berarti kehilangan kontrol administratif, penilaian ulang kapasitas, dan potensi gesekan politik. Sedangkan bagi desentralisasi, ini akan menjadi momen paling penting sejak 2007, sebuah ujian apakah model otonomi daerah kompatibel dengan kebutuhan rapid emergency commanddalam bencana berskala besar.
Antara Hukum dan Kemanusiaan: Memilih Kejelasan Saat Nyawa Dipertaruhkan
Antara hukum dan kemanusiaan selalu terdapat ruang ketegangan yang menentukan bagaimana negara merespons krisis. Penetapan status bencana nasional bukan sekadar kategori hukum; ia adalah deklarasi bahwa negara hadir sepenuhnya ketika skala bencana melampaui kemampuan daerah. Desentralisasi penting bagi demokrasi karena memberi ruang bagi daerah untuk memimpin dan mengelola krisis pada skala yang dapat mereka tangani. Namun ketika tanah berguncang, gunung meletus, atau tsunami melanda, dan daerah menyatakan tidak sanggup yang dibutuhkan bukan hanya kewenangan daerah, tetapi kecepatan, kejelasan komando, dan keberanian untuk mengakui bahwa kapasitas daerah telah jebol dan pemerintah pusat harus turun tangan.
Status bencana nasional merupakan instrumen penting yang disediakan oleh UU 24/2007 untuk menghadapi situasi luar biasa yang melampaui kapasitas daerah. Namun ambiguitas regulasi, absennya Peraturan Presiden yang seharusnya menurunkan indikator operasional, serta ketegangan struktural antara desentralisasi dan kebutuhan komando tunggal membuat instrumen tersebut tidak pernah berfungsi dalam praktik kebijakan publik Indonesia.
Agar negara dapat merespons bencana besar dengan lebih cepat, efektif, dan terkoordinasi, diperlukan reformasi regulasi yang menegaskan indikator, mekanisme, dan struktur komando penetapan status bencana nasional. Tanpa pembaruan tersebut, Indonesia akan terus menghadapi situasi paradoks: negara mampu mengerahkan sumber daya dalam skala besar, tetapi tidak memiliki legitimasi komando yang tegas untuk melakukannya secara formal.
Instrumen “status bencana nasional” tidak berfungsi bukan karena kurangnya kemauan politik, tetapi karena desain kebijakan yang tidak pernah diselesaikan. Kita memiliki konsep dalam kerangka hukum, namun tidak pernah menciptakan operasionalisasinya. Selama celah ini dibiarkan, Indonesia akan terus berada dalam paradoks tata kelola: negara mampu mengerahkan sumber daya besar secara de facto, tetapi tanpa legitimasi komando yang tegas secara de jure.
Konsekuensinya langsung terlihat di lapangan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan awal, tetapi seperti dalam konteks banjir bandang di Aceh, Sumut, dan Sumbar, kapasitas mereka sangat sudah collaps dan butuh bantuan cepat. Di sisi lain, pemerintah pusat memiliki sumber daya besar, personel, logistik, alutsista, dan akses lintas lembaga, tetapi tidak dapat serta-merta mengambil alih komando tanpa dasar formal bahwa daerah memang tidak sanggup.
Situasi ini menciptakan institutional chokepoint. Pusat melihat daerah kewalahan, tetapi secara hukum tidak dapat bertindak penuh. Daerah membutuhkan bantuan pusat, tetapi enggan menyatakan tidak mampu karena pertimbangan politik, reputasional, atau kekhawatiran dianggap gagal. Dampak lainnnya, adalah terbukanya kemungkinan pelanggaran terhadap aturan pemerintah yang lain, misalnya PP No.23.2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Dalam Penanggulangan Bencana.
Dalam setiap fase darurat, keterlambatan beberapa jam dapat berarti hilangnya nyawa. Struktur yang dibangun untuk memperkuat daerah justru menciptakan kesenjangan antara kebutuhan lapangan dan aturan hukum. Perbedaan kecil mengenai “siapa memimpin” dapat memperlambat pengambilan keputusan, memperpanjang waktu mobilisasi, dan menghambat respons. Inilah paradoks desentralisasi dalam kebencanaan. Desain kelembagaan yang demokratis dan partisipatif secara konsep, tetapi tidak selalu kompatibel dengan tuntutan operasi darurat yang memerlukan komando tunggal, garis instruksi yang jelas, dan aktivasi cepat skala nasional ketika kapasitas daerah kolaps.
Baca juga: Belum Pulih, Masa Tanggap Darurat Sumatera di Perpanjang
Pada akhirnya, reformasi status bencana nasional bukan hanya urusan regulasi, tetapi persoalan etika kebijakan publik. Apakah negara memilih kecepatan, kejelasan komando, dan keselamatan warga, atau membiarkan ambiguitas mengatur pada saat nyawa dipertaruhkan? Dalam situasi darurat, setiap menit keterlambatan berarti hilangnya peluang penyelamatan. Nyawa adalah variabel yang tidak dapat dinegosiasikan dan Negara harus mencari jalan keluar dengan cepat.
Penulis: Tanty S Reinhart Thamrin.






