Masa tanggap darurat dimulai per tanggal 27 November 2025, berdasarkan laporan BNPB, hingga Minggu, 07 Desember 2025 terdapat korban jiwa 921 meninggal, 392 masih hilang, dan 5000 jiwa terisolasi. Penetapan bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera yang tidak menjadi bencana nasional juga sempat menjadi polemik di masyarakat, mengingat banyaknya korban serta wilayah-wilayah kecil yang masih terisolir.
Dua pekan hampir berlalu setelah banjir bandang serta tanah longsor menyapu Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Kondisi tentu tak mencekam seperti sebelumnya, bongkahan batu, kayu serta benda-benda mati lainnya sudah menemukan titik henti, tersisa rumah-rumah yang rusak dengan lumpur tebal di dalamnya.
Tiga kepala daerah menyatakan ketidaksanggupan daerah menangani bencana ini, yaitu Bupati Aceh Tengah Haili Yoga, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS, dan Bupati Pidie Jaya Sibral Malasyi. Mereka mengaku kesulitan menangani dampak bencana di wilayah masing-masing.
Masa Tanggap Darurat Bencana Sumatera Hampir Habis, Bagaimana Nasibnya?
Dosen Ilmu Pemerintahan sekaligus pakar manajemen bencana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rahmawati Husein, MCP., Ph.D., menjelaskan bahwa hingga saat ini pemerintah menilai struktur pemerintahan di daerah terdampak masih berfungsi dengan baik. Pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dinilai tidak lumpuh dan masih mampu menjalankan koordinasi serta pelayanan publik.
“Karena pemerintah daerah masih bisa bekerja, status bencana nasional belum diperlukan,” ujarnya.

Biasanya dalam penanganan bencana, masa tanggap darurat akan berakhir pada dua minggu setelah kejadian. Seiring hal ini, Presiden Prabowo Subianto akan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) untuk mengatur rekonstruksi dan rehabilitasi daerah terdampak banjir di Sumatera. Wakil Menteri Sekretaris Negara, Bambang Eko Suhariyanto, menyebut aturan tersebut tengah dirampungkan dan ditargetkan terbit pada Minggu, 7 Desember 2025.
Dikutip dari Tempo, Menurut Bambang, Prabowo Subianto akan meneken Inpres rekonstruksi dan rehabilitasi pada Senin atau Selasa, 8–9 Desember 2025. Aturan itu akan mencakup perbaikan dan pembangunan hunian warga yang rusak, serta pemulihan infrastruktur dan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, dan fasilitas publik. Meski aturan akan segera terbit, pemerintah dapat memperpanjang masa tanggap darurat, tergantung situasi di lapangan, ujar Bambang.
Pada unggahan media sosial Najwa Shihab jurnalis Narasi.TV (07/12) menjelaskan kondisi di Aceh, dimana bantuan logistik tersedia, relawan bergerak namun kondisi jalan yang tidak memungkinan dan terisolasi, akes terputus, kelangkaan BBM juga terjadi yang menambah parahnya situasi. Menurut Najwa yang bisa diandalkan saat ini adalah dengan menggunakan transportasi udara.
Mahmudin Ido, relawan KMPLHK UIN Jakarta yang berada di Gayo Lues, Aceh, menuturkan bahwa ia harus berjalan kaki dari Desa Rema, Kecamatan Kuta Panjang menuju Desa Pasir Putih, Kecamatan Pining, karena banyak akses jalan dan jembatan terputus akibat longsor dan banjir bandang. Hingga kini, debit air sungai masih tinggi dan sejumlah jembatan mengalami kerusakan parah, menyebabkan akses antar desa terisolasi.

Di sepanjang perjalanan, ia melewati beberapa wilayah tanpa sinyal komunikasi, dengan pasokan listrik yang sangat terbatas, serta menghadapi lonjakan harga kebutuhan pokok dan bahan bakar. Mahmudin juga menyebut, banyak warga terpaksa berjalan kaki sejauh 15 hingga 25 kilometer untuk keluar dari daerah terisolasi demi mencari bantuan dan logistik.
Menjelang berakhirnya masa tanggap darurat, situasi di lapangan menunjukkan bahwa proses pemulihan masih membutuhkan waktu dan perhatian berkelanjutan. Sejumlah wilayah masih menghadapi keterbatasan akses, layanan dasar, dan kebutuhan logistik yang belum sepenuhnya terpenuhi.
Baca juga: Darurat Bencana di Sumatera, Urgen Bantuan Kemanusiaan
Di tengah rencana terbitnya Instruksi Presiden terkait rekonstruksi dan rehabilitasi, pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk memastikan seluruh wilayah terdampak, termasuk yang terisolasi, dapat dijangkau secara merata dalam proses pemulihan. Bagaimana efektivitas kebijakan ini akan terlihat dari kecepatan, ketepatan, dan keberlanjutan langkah-langkah yang diambil dalam beberapa waktu ke depan.(Kori/Nugrah)






