Peningkatan kejadian tanah bergerak membuat posisi Indonesia yang secara geografis dan geologis sangat kompleks berdampak pada meluasnya kawasan rawan bencana (KRB). Dalam laporan tahun 2024, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa kondisi ini memengaruhi sekitar 195,9 juta jiwa penduduk. Sementara itu berdasarkan Zona Kerentanan Gerakan Tanah (ZKGT), tercatat sebanyak 40,9 juta jiwa tinggal di wilayah yang terdampak potensi gerakan tanah.
Peningkatan Tanah Bergerak, Mitigasi Harus Melihat Sudut Lokal
Tren peningkatan tanah bergerak pada tahun 2025 semakin mengkhawatirkan. Berbagai wilayah di Indonesia terus mengalami bencana ini secara bergantian, mulai dari Brebes, Toraja, Purwakarta, hingga Ciamis. Daerah lain pun tak luput dari ancaman serupa, belum lagi fenomena gerakan tanah yang terjadi secara lokal dan sifatnya kecil, bencana ini menyebar luas dengan pola yang hampir sama di berbagai daerah.

Tanah bergerak bukan hanya merusak, tapi melumpuhkan di berbagai aspek terutama pada infrastruktur. Pada periode Mei 2025 tercatat bencana ini telah merusak 373 ruas jalan nasional dan 1.480 jembatan mengalami kerusakan. Selain itu ribuan warga terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka, bahkan harus menjalani proses relokasi permanen akibat kondisi lahan yang tidak lagi layak huni.Â
Menurut laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), tiga provinsi dengan persentase tertinggi wilayah yang berpotensi mengalami gerakan tanah pada Mei 2025 adalah Papua Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua Pegunungan. Ketiga wilayah ini memiliki karakteristik geologi dan curah hujan yang tinggi, sehingga sangat rentan terhadap kejadian tanah bergerak.
Perhatian terhadap bencana kejadian tanah bergerak cenderung terfokus pada peristiwa berskala besar yang merusak jalan nasional, menimbun desa, atau menelan korban jiwa secara masif. Padahal gerakan tanah dalam skala kecil dan menahun justru lebih sering terjadi dan merusak secara perlahan. Retakan-retakan di dinding rumah, kemiringan bangunan, dan jalan desa yang terus bergeser merupakan gejala sehari-hari yang dialami masyarakat di wilayah rawan, namun kerap luput dari pemantauan resmi.
Meskipun berbagai lembaga telah secara aktif memperbarui data gerakan tanah melalui peta dan sistem peringatan dini, kejadian tanah bergerak telah diperbarui secara masif oleh berbagai lembaga, ancaman gerakan tanah tetap menjadi persoalan kompleks. Banyak kejadian berlangsung secara lambat berulang setiap tahun, dan sifatnya lokal hanya beberapa dusun atau rt saja, sehingga tidak terdeteksi oleh sistem pemantauan berskala nasional. Dalam hal ini Zona Kerentanan Gerakan Tanah (ZKGT) memang menjadi elemen penting dalam kebijakan mitigasi, namun belum cukup untuk menjangkau risiko di tingkat mikro. Pemahaman terhadap risiko di tingkat lokal hanya bisa diperoleh melalui pengalaman panjang masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana.
Kendala teknis lain menurut Novie N. Afatia., ST., M.T., Penyelidik Bumi Ahli Madya di PVMBG-Badan Geologi dalam presentasinya menjelaskan, peta dasar yang digunakan saat ini masih berskala 1:50.000 dan itu pun baru tersedia sejak diluncurkannya kebijakan One Map Policy pada 2016. Skala peta tersebut terlalu umum dan belum cukup detail untuk dipakai di tingkat kabupaten atau daerah-daerah dengan aktivitas ekonomi khusus. Padahal gerakan tanah seperti longsor seringkali terjadi di lokasi-lokasi yang sangat sempit. Sehingga dibutuhkan peta dengan skala yang lebih rinci, seperti 1:10.000 atau 1:25.000. Sehingga upaya mitigasi akan mendetail dan menjangkau daerah rawan tertinggal.

Penggunaan EWS (Early Warning System) secara sederhana dengan menggunakan bambu misalnya dapat menjadi alat pengukur seberapa besar pergerakan tanah yang terjadi, ini juga masif dipromosikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat untuk mitigasi masyarakat lokal.
Baca juga: Tanah Bergerak Masih Jadi Bencana yang Mengancam Indonesia
Peningkatan frekuensi dan gerakan tanah yang hampir bisa terjadi di seluruh wilayah Indonesia, mitigasi tidak bisa hanya bergantung pada pendekatan makro dan data spasial berskala nasional. Kebijakan juga harus mulai mengarah ke dinamika lokal, di mana risiko biasanya tersembunyi dalam skala kecil namun berdampak besar bagi kehidupan masyarakat.(Kori/Nugrah)
Sumber:
Afatia, N. N. (2024). Mitigasi bencana geologi: Gerakan tanah. Disampaikan dalam acara Badan Geologi Goes to Campus, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya: PVMBG–Badan Geologi.