Cerita Tsunami di Mentawai: Kerentanan dalam Kerentanan

Ekspedisi Jawadwipa

Cerita Tsunami yang sering kita dengar dan baca di banyak artikel bisa teringat di kala musim hujan seperti ini, entah kenapa di pikiran kita sering berseliweran ingatan menyedihkan. Mengingat cerita kesedihan bukan berarti kita sedang galau. Terkadang mengingat cerita sedih membuat kita berpikir jauh lebih mendalam. Cerita menyedihkan yang masih terbayang saat ini adalah cerita dari Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai mengenai tsunami yang pernah menerjang wilayahnya.

Dalam diskusi virtual Bincang Bencana Series 13 yang diadakan disasterchannel.co pada Sabtu, 6 November 20210, Rifai bercerita dengan lugas mengenai penanggulangan bencana gampa dan tsunami Mentawai pada 25 Oktober 2010. Bencana ini menewaskan 509 orang dan lebih dari 11.000 orang kehilangan rumah mereka. 

Rifai mejelaskan “ada satu hal penting yang harus kita lihat, yaitu kondisi masyarakat, apakah sudah siap menghadapi gempa yang dapat menimbulkan tsunami dan dapat meresponnya dengan melakukan tindakan yang tepat untuk evakuasi”. 

Cerita Tsunami di Mentawai: Kerentanan dalam Kerentanan

tsunami

Masyarakat sering membanding-bandingkan kekuatan gempa terdahulu yang tidak menimbulkan tsunami, sehingga tidak melakukan evakuasi. Pada saat gempa 2010, guncangan terasa tidak lebih kuat dari gempa tahun 2007, oleh sebab itu banyak warga yang menjadi korban karena membanding-bandingkan kekuatan gempa berdasarkan pengalaman mereka. Mereka tidak pernah tahu gempa seperti apa yang bisa membangkitkan tsunami.

“Ketidaksiapan merespon kejadian gempa terjadi dikarenakan pihak yang memberikan edukasi juga memang sangat terbatas” kata Rifai. 

“Banyak yang melakukan edukasi bencana pada masyarakat yang ada di pantai timur bukan pantai barat yang justru merupakan daerah terdampak. Sebagian besar yang menjadi korban adalah masyakrat yang belum teredukasi bagaimana caranya menyelamatkan diri” sambungnya.

Kemudian Rifai melanjutkan ceritanya mengenai penanganan tanggap darurat. Menurut Rifai, tanggap darurat bencana tsunami Mentawai tahun 2010 dapat dikatakan ‘gagap’. Sebab distribusi bantuan sangat lambat dan penyebarannya pun tidak merata. Sumber daya relawan yang sebenarnya cukup banyak, namun tidak didistribusikan dengan baik ke beberapa wilayah terdampak. Apalagi wilayah Mentawai adalah wilayah kepulauan, untuk menjangkau beberapa daerah terdampak, perlu menggunakan transportasi laut dengan ketersediaan BBM dan juga pengemudi. Seharusnya semua itu bisa dikoordinir dengan baik oleh Posko Pusat. 

Baca juga: Throwback, 20 Tahun Gempa dan Tsunami Aceh 2004

Tidak efektifnya aktivitas tanggap darurat menyebabkan korban yang sebelumnya sudah rentan kembali masuk dalam kerentanan baru. Kondisi kerentanan terus diperparah dengan penanggulangan pasca bencana yang terbilang masih saja ‘gagap’.

Pada fase recovery dan rekonstruksi, pemerintah melakukan relokasi pemukiman warga yang terdampak tsunami. Sangat disayangkan, relokasi yang dilakukan tidak mempertimbangkan aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Relokasi yang sejatinya memindahkan warga ke tempat yang lebih aman, pada kenyataanya warga tetap kembali ke pemukiman lamanya. Ini terjadi karena mata pencaharian warga banyak sebagai nelayan dan petani.

Dampak dari relokasi yang tidak mempertimbangkan aspek kehidupan dan penghidupan ini semakin lama semakin menimbulkan banyak masalah.  Pasca relokasi, beberapa orangtua meninggalkan anaknya di hunian tetap, sementara mereka pergi bekerja di area rumah terdampak tsunami. akibatnya anak-anak hidup tanpa pengawasan orangtua, beberapa di antara mereka mengalami pelecehan seksual. 

Belum lagi masalah stunting yang angkanya terus naik pasca bencana. Hal ini adalah salah satu akibat area hunian tetap yang dibangun pemerintah tidak dilengkapi dengan lahan pertanian untuk memperoleh asupan pangan. 

Kabar yang lebih mencengangkan adalah “Legalitas Huntap (hunian tetap) masih belum selesai sampai sekarang” ujar Rifai. 

Masyarakat Mentawai yang berada dalam situasi rentan harus kembali masuk ke dalam kondisi kerentanan yang lebih dalam akibat kegagapan semua pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana. Pertanyaan ironis yang terbayang adalah: mau sampai kapan kita selalu gagap dalam menghadapi bencana yang berulang? Di masa depan, cerita kerentanan dalam kerentanan ini harus ditiadakan. Mengurangi kerentanan dengan meningkatkan kapasitas melalui upaya kesiapsiagaan dan mitigasi perlu diinisiasi dan terus ditekuni. Kita semua harus bersatu menyudahi episode kegagapan dalam setiap penanggulangan bencana.

Penulis: Lien Sururoh