Angin Lesus, Serat Centhini dan Potensi Bencana

Ilustrasi Angin Puting beliung,
Ekspedisi Jawadwipa

Masyarakat Jawa biasa mengenal bencana angin besar dengan sebutan angin lesus atau “Lesus” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai angin puyuh; angin topan; angin pilin. Dikutip dari Detik.com Apa Perbedaan Angin Puyuh, Puting Beliung, Topan, Lisus, dan Tornado? , BPBD Sumut mendefinisikan angin puting beliung sebagai angin yang diisebut juga sebagai angin ribut, angin puyuh, dan angin leysus, lisus ataupun lesus. Jenis angin ini termasuk angin kencang tetapi cenderung melemah kecepatannya secara berangsur-angsur saat terjadi. Tidak hanya di darat, angin lisus juga dapat muncul di laut yang disebut juga sebagai waterspout.

Angin Lesus, Serat Centhini dan Potensi Bencana

Penyebutan angin sebagai lisus tidak terlalu familiar di era sekarang untuk penyebutan bencana angin, masyarakat lebih senang menyebutnya angin topan, puyuh atau beliung. Padahal sebenarnya bagi masyarakat Jawa penyebutan lisus juga telah ada dalam kesusastraan lama seperti Serat Centhini 8.

Diantara bunyinya sebagai berikut:

“5. Laban thathit aliwêran | gumaludhug dhêg-dhèr wawar wor riris | mêsês bayu bajra lesus | angidit maputêran | nêmpuh parang jurang jro sigrong gumrunggung | sumruwung asru srang-srangan | sumiyut pancawora writ || (Bab Pangkur)”

“169. Jalarane kudu-kudu nênggih | ruwatane kêlayu satampah | kang pêpak arèsanane | tindhih picis sapuluh | nulya malih wuku gumanti | Maktal macan alupa | apan lesus agung | awor angin pancawora | têgêsipun wantêr angên-angênèki | il bilaine atukar ||(Dhandanggula)”

Dari 2 pupuh tersebut kata lesus telah dipakai dalam Serat Centhini yang ditulis semenjak 1814, kata lesus dipakai untuk menggambarkan kondisi angin ribut dan angin yang berpusar sebagai bagian dari tanda alam. Meskipun tentu ini bukan pertama kali masyarakat Jawa mengenal pelafalan kata lesus.

Lisus masih menjadi bencana yang rawan terjadi di Jawa, di 10 Maret 1992 di Juwiring, Klaten angin lesus menyebabkan 65 rumah penduduk rusak. Pada 9 April 1998 angin lesus menggulung ratusan rumah di Delanggu, Klaten ini menyebabkan kerusakan yang cukup parah pada rumah-rumah masyarakat. Dan yang paling baru di Desember 2024 lesus juga menyapa kembali di Klaten tepatnya di Desa Dengkeng yang menyebabkan 23 rumah rusak utamanya bagian atap. Datangnya angin lesus ini biasanya diiringi dengan hujan dan Klaten memang merupakan daerah yang paling sering didatangi oleh angin satu ini.

Bahasa lesus menjadi menarik di era sekarang karena penggunaannya cukup tidak terkenal, namun potensi kebencanaan ini tetap ada. Layaknya kondisi penamaan Tsunami yang berasal dari Jepang, masyarakat Jawa mempunyai bahasa sendiri untuk menyebut kondisi bencana angin. 

Baca juga: Cerita Wayang Anantaboga dan Bencana

Uniknya dalam penelitian Hiryanto, dkk (2012) warga Yogyakarta melakukan berbagai cara untuk memperkenalkan warisan budaya termasuk didalamnya terkait kebencanaan kepada anak cucunya, salah satunya untuk bersembunyi di dalam ruangan jika ada lesus (angin puting beliung). Selain warisan penamaan lokal jenis bencana, warisan yang perlu diturunkan kepada anak cucu adalah terkait mitigasi saat terjadinya bencana.

Penulis: Kori Saefatun

Sumber: