Malimping: Sejarah dan Pengetahuan Lokal Mengenai Bencana

Ekspedisi Jawadwipa

Canda tawa keluarga yang sedang berlibur berlatar deburan ombak di pesisir Pantai Bagedur di Malimping menjadi pemandangan yang menarik perhatian. Pantai ini adalah salah satu pantai wisata yang terletak di Desa Sukamanah, Kecamatan Malimping, Kabupaten Lebak, Banten. Mungkin hanya segelintir wisatawan yang sadar bahwa pantai tempat mereka bersenang-senang juga memiliki ancaman bencana gempa.

Masyarakat Malimping, khususnya Desa Sukamanah sudah mengetahui bahwa wilayahnya memiliki ancaman bencana gempabumi dan tsunami. Hal ini juga tak lepas dari pemberitaan di berbagai media yang hangat membicarakan isu megathrust di selatan Jawa. Dalam kurun waktu satu tahun, Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa telah melakukan peningkatan kapasitas masyarakat untuk menghadapi ancaman bencana tersebut. Masyarakat kemudian membentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Desa Sukamanah.

Kesadaran akan keberadaan ancaman bencana membuat DMC Dompet Dhuafa dan Yayasan Skala Indonesia menginisiasi untuk membuat kegiatan Ekspedisi Sadia Muraksa Laut.  Kegiatan ini dilakukan selama beberapa hari mulai dari 13-22 Desember 2024. Bersama dengan FPRB Desa Sukamanah, kami menyusuri pantai sambil bercengkrama bersama warga untuk mengetahui ingatan kolektif dan pengetahuan masyarakat mengenai ancaman bencana. 

Tak dapat dipungkiri bahwa wilayah Malimping sering dilanda gempa. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa berita koran berita koran pada masa Hindia Belanda yang melaporkan kejadian gempa di daerah Malimping dan sekitarnya.

Malimping: Sejarah dan Pengetahuan Lokal Mengenai Bencana

Salah satu koran yang membahas terkait kejadian gempa di daerah Malimping, adalah koran Java Bode yang diterbitkan pada 6 Oktober 1883. Berita pada koran ini menyebutkan bahwa kejadian gempa yang dialami di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Bengkulu, Ambon dan daerah Malimping. Gempa yang terjadi di daerah Malimping, terjadi pada 10 September 1883 yang terjadi selama 10 detik.[1]

malimping
Koran Java-Bode

Selanjutnya terdapat pula koran lain yang memberitakan kejadian gempa di daerah Malimping, yaitu koran De Locomotief yang diterbitkan pada 28 Juni 1891. 

malimping

Jika kita melihat berita yang diterbitkan oleh koran De Locomotief terdapat dua daerah yang disebutkan mengalami gempa, yaitu daerah Gunung Kencana dan daerah Malimping. Gempa yang dirasakan terjadi selama 2 sampai 3 detik saja, walaupun gempa tersebut terjadi selama dua kali yaitu pada tanggal 7 dan 8 Juni 1891.[2]

Lalu yang terakhir adalah koran Java Bode yang diterbitkan pada 14 Agustus 1897 yang juga memberitakan kejadian gempa.

malimping

Dalam beritanya koran Jawa Bode melaporkan bahwasanya telah terjadi gempa di empat wilayah Banten yaitu  Malimping, Cihara, Cipalabuh, dan Bayah yang terjadi pada 14 Juli. Perlu kita ketahui bahwasanya 4 daerah tersebut pada saat ini termasuk dalam kabupaten Lebak. Dari bukti sejarah gempa yang ada, leluhur di wilayah Malimping dan sekitarnya telah melakukan serangkaian adaptasi hingga dapat eksis sampai pada hari ini.

Hidup harmoni dengan alam sudah dijalankan oleh masyarakat Desa Sukamanah sejak ratusan tahun yang lalu. Dari proses interaksi dengan alam, masyarakat memiliki pengetahuan tersendiri yang sifatnya melokal. Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Pengantar Antropologi, bahwa tiap suku bangsa di dunia biasanya memiliki pengetahuan terkait tujuh hal, yaitu:  1. Pengetahuan alam dan sekitarnya, 2.  Flora yang ada di sekitarnya, 3. Fauna yang ada di sekitarnya, 4. Zat zat, dan bahan mentah yang ada di lingkungannya, 5. Tubuh Manusia, 6. Sifat sifat dan tingkah laku sesama manusia, 7. Ruang dan waktu.[3]

Masyarakat di Desa Sukamanah memiliki pengetahuan lokal, bahwasanya daerah mereka merupakan wilayah yang rawan akan gempa. Pengetahuan ini didapatkan berdasarkan cerita dari ayah, maupun kakek-nenek mereka, yang diceritakan melalui tutur.

Dalam perjalanan Ekspedisi Sadia Muraksa Laut, kami melakukan wawancara kepada salah satu perangkat desa yang bernama Ujang Bustomi. Dalam wawancara tersebut Ujang Bustomi berkata bahwa daerah  Sukamanah memang daerah rawan gempa bahkan hal ini sudah diceritakan turun-temurun oleh ayah dan kakeknya.[4]

Selain pak Ujang Bustomi kami juga mewawancarai tetua yang bernama Muhidin. Menurut penuturan beliau bahwasanya daerah Malimping memang sering terjadi gempa, dan hal ini juga diketahui oleh ayah dan kakeknya. Walaupun ketika kami bertanya terkait tanggal kejadian beliau tidak mengetahui secara pasti.[5]

Pengetahuan lokal yang tercermin dalam wawancara Ujang Bustomi  dan Muhidin terkait daerah rawan gempa yang ada di Malimping sangat selaras jika kita melihat kejadian sejarah gempa di masa lalu. Dari ketiga koran di atas hal ini membuktikan, bahwasanya pengetahuan lokal masyarakat di desa Sukamanah terkait wilayahnya yang sering terjadi gempa bukanlah isapan jempol belaka. 

Baca juga: Pantai Pulau Merah dan Jejak Cerita Tsunami-nya

Jika kita melihat fenomena Folklor yang ada pada masyarakat Sukamanah, teori Koentjaraningrat terkait pengetahuan suatu bangsa sangatlah relevan khususnya di poin pertama, yaitu “masyarakat atau suatu bangsa memiliki pengetahuan tentang wilayah sekitar”. Dalam penjabaran Koentjaraningrat menyebutkan bahwasanya setiap masyarakat memiliki pengetahuan tentang musim, sifat sifat gejala alam, bahkan hingga hewan.[6] Pengetahuan ini didapatkan oleh masyarakat dikarenakan alam sendiri pastinya akan berhubungan dengan kegiatan manusia seperti, bertani, mencari ikan, hingga membangun rumah. Jika kita merujuk teori di atas maka tak heran jika masyarakat di Malimping khususnya di daerah desa Sukamanah, juga memiliki pengetahuan melalui cerita ataupun Folklore, terkait kejadian bencana di wilayahnya khususnya terkait gempa. 

Penulis: Abdurrahman Heriza

Editor: Lien Sururoh


[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 373.

[4] Wawancara Ujang Bustomi

[5] Wawancara Muhidin

[6] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 373.


[2] “Uit de Indische Bladen,” De Locomotief : Samarangsch Handels- En Advertentie-Blad, June 23, 1891, Dag edition, https://resolver.kb.nl/resolve?urn=ddd:010292290:mpeg21:a0005.


[1] “Wisselkoersen Der Handelsvereeniging,” Java-Bode : Nieuws, Handels- En Advertentieblad Voor Nederlandsch-Indie, October 6, 1883, Dag edition, https://resolver.kb.nl/resolve?urn=ddd:010487037:mpeg21:a0049.