3 Kearifan Lokal Masyarakat dalam Hadapi Longsor dan Tanah Bergerak

Pembangunan Terasering Bambu, Foto: Martda/jprm
Ekspedisi Jawadwipa

Hujan terus mengguyur membawa muatan bencana tak terkendali seperti banjir, tanah longsor dan pergerakan tanah. Bencana Hidrometeorologi masih terus terjadi di wilayah Indonesia meskipun saat ini seharusnya sudah mengalami musim kemarau.

Antisipasi dan anjuran dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) terus dilakukan sebagai upaya mitigasi di era modern ini dengan berbasis media digital: channel whatsapp, siaran youtube serta kampanye-kampanye ringan lewat instagram dan tik-tok. Berbagai media sosial sangat mendukung upaya mitigasi yang dilakukan oleh BMKG, BNPB dan BPBD setempat untuk semua dapat mendapat informasi kebencanaan yang akurat dan faktual.

Namun tentunya tidak semua masyarakat dapat mendapat akses informasi yang sama baik karena ketidakmampuan untuk mendapat akses tersebut atau akses dalam daerah yang sifatnya lama atau setelah kejadian bencana terjadi baru ada informasi tersebut didapat.

Hal yang paling mudah dimungkinkan jika memang akses informasi kebencanaan tidak dapat diakses dalam kondisi sebelum atau sesudah bencana, hal yang paling memungkinkan adalah menggali kembali kearifan lokal. Kearifan lokal yang diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal, semestinya memberi informasi yang cukup luas terkait tanah yang ditinggali, potensi bencananya serta cara mengantisipasi atau meminimalisirnya.

Dalam bencana longsor dan tanah bergerak memahami tanda-tanda alam menjadi basic pengetahuan yang harus dimiliki, sebab kepekaan terhadap alam sekitar dapat mendeteksi perbedaan secara jeli jika terjadi perubahan pada alam.

3 Kearifan Lokal Masyarakat dalam Hadapi Longsor dan Tanah Bergerak

Di Beberapa daerah yang sangat menjunjung tinggi nilai adat dan kearifan lokal, kearifan lokal bisa berbagai bentuk seperti dalam konstruksi bangunan, pola perilaku masyarakat ataupun sesuatu yang sifatnya diceritakan turun temurun, berikut beberapa kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam mitigasi tanah longsor dan pergerakan tanah:

  1. Keterampilan Tancap Bambu
longsor
Ilustrasi Tancap Bambu, Foto: Alek Kurniawan

Masyarakat Desa Bojongkoneng, Kabupaten Bogor, menunjukkan bahwa mitigasi bencana tak harus bergantung pada teknologi canggih. Dalam menghadapi ancaman longsor dan pergerakan tanah yang terjadi warga memanfaatkan kearifan lokal dengan menggunakan bambu sebagai penahan tanah. 

Penelitian Randy Raharja dkk dalam jurnal “Peran Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana” menunjukan bahwa masyarakat Bojong Koneng menggunakan potongan bambu sepanjang 1 hingga 1,5 meter ditancapkan ke area rawan pergeseran tanah, berfungsi sebagai penyangga yang menahan laju pergerakan tanah. Hal ini merupakan bagian dari kearifan lokal dengan praktik diwariskan secara turun-temurun karena efektif untuk meredam dampak longsor yang kerap terjadi di daerah lereng. 

  1. Terasering Penyangga Tanah
longsor
Ilustrasi Terasering, Foto: Martda/jprm

Longsor dan tanah bergerak kerap terjadi akibat curah hujan tinggi yang menyebabkan tanah jenuh air dan kehilangan daya dukungnya, terutama di wilayah dengan kemiringan curam. Ketika tanah jenuh air, gaya geser menurun sehingga lebih mudah mengalami pergerakan. 

Untuk mengurangi risiko tersebut, masyarakat biasanya menggunakan kearifan lokal baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Secara umum masyarakat membangun terasering di lereng-lereng curam untuk memperlambat aliran air hujan dan menstabilkan tanah. 

  1.  Rumah Tradisional Lamban Langgakh
longsor
Ilustrasi Rumah Lamban Langgakh, Foto: instagram.com/wo_elly

Ancaman bencana longsor dan tanah bergerak yang kerap terjadi, masyarakat memanfaatkan kearifan lokal melalui pembangunan Lamban Langgakh, rumah panggung tradisional khas Lampung ini terbukti lebih tahan terhadap dampak pergeseran tanah. 

Dibuat dari bahan kayu yang lentur dan adaptif, rumah panggung Lamban Langgakh terbukti mampu meredam kerusakan akibat longsor dan pergerakan tanah, menjadikannya lebih tangguh dibandingkan konstruksi rumah modern yang cenderung kaku dan rentan. 

Baca juga: Merupakan Bencana dari Tanah, Ini Beda Tanah Longsor dan Tanah Bergerak

Dalam jurnal Indonesian Journal of Agricultural, Resource and Environmental Economics (Vol. 3, No. 1, 2024), berjudul “Lamban Langgakh: Refleksi Kearifan Lokal sebagai Mitigasi Bencana Longsor pada Masyarakat Desa Bojongkoneng di Tengah Transformasi Modernisasi”, Adinda Rizki Putri Sulistiyanto dkk mengungkap bahwa meskipun sebagian masyarakat mendukung penggunaan rumah tradisional ini sebagai langkah mitigasi bencana, tidak sedikit pula yang masih meragukan efektivitasnya terutama mereka yang belum mengalami secara langsung dampak nyata dari bencana longsor.(Kori/Nugrah)