Tambang Nikel dan Waspadai Penyakitnya

Ilustrasi Tambang Nikel, Foto: Dok. teknominerba.com
Ekspedisi Jawadwipa

Pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya untuk melakukan hilirisasi nikel di Indonesia, ini beberapa kali disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Raka, bahkan jauh sebelum terpilih menjadi Presiden tepatnya saat kampanye pemilu berlangsung.

Bukan tanpa alasan memang, Indonesia dikenal dengan cadangan nikel yang banyak dan dilirik oleh dunia. Dikutip dari Kompas.id, Indonesia merupakan negara dengan produksi bijih nikel tertinggi di dunia, berdasarkan data United State Geological Survey (USGS) dan Badan Geologi Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Wilayah Sulawesi dan Maluku merupakan wilayah cadangan bahan mineral yang tinggi terutama di Sulawesi Tenggara serta Maluku Utara sehingga dua wilayah ini sering menjadi incaran untuk penambangannya. Nikel dibutuhkan untuk berbagai keperluan, mulai dari stainless steel, baterai kendaraan listrik hingga teknologi tinggi lainnya.

Nikel dianggap sebagai energi hijau sebab, kegunaanya sebagai bahan dari baterai bisa mendukung adanya transisi energi yang mulanya transportasi menggunakan energi fosil minyak bumi berubah menjadi energi listrik.

Tambang Nikel dan Waspadai Penyakitnya

nikel
Ilustrasi Pencemaran Lingkungan akibat penambangan, Foto: Dok. Mongabay.co.id

Dibalik gegap gemerlap rencana ini, nyatanya pemahaman hulu sampai hilir terkait pertambangan nikel juga perlu dipahami. Sebab baru-baru ini pertambangan nikel kerap kali menyasar pulau-pulau di bagian Sulawesi, Maluku bahkan Papua yang notabene nya adalah pulau-pulau kecil yang secara hukum tidak boleh ditambang seperti yang terjadi di Pulau Gag.

Masalah lain di hulu pertambangan nikel adalah terkait kesehatan masyarakat sekitar tambang nikel.  Dalam liputan investigasi DW bersama OCCRP dan Gecko Project mengungkap dugaan pencemaran lingkungan serius akibat aktivitas pertambangan nikel di salah satu pulau penghasil nikel di Maluku, yaitu Pulau Obi, ini terdokumentasi dalam sebuah video yang kurang lebih berdurasi 10 menit.

Investigasi tersebut menunjukan dampak lingkungan tambang nikel di Pulau Obi, Maluku, bahwa selain pencemaran air dan kerusakan ekosistem laut, warga di sekitar kawasan industri juga menghadapi ancaman kesehatan akibat paparan logam berat, termasuk arsenik. Sejumlah laporan menyebutkan kadar arsenik dalam darah sebagian warga melebihi ambang batas aman, yang berisiko memicu gangguan kesehatan jangka panjang seperti lesi kulit, kerusakan organ, hingga kanker.

nikel
Ilustrasi Pencemaran lingkungan akibat pertambangan, Foto: Rabul Sawal/mongabay Indonesia

Arsen adalah unsur alami yang terdapat bebas di alam. Arsen diklasifikasikan sebagai kimia metaloid karena memiliki kedua sifat, logam dan bukan logam. Namun, sering disebut sebagai logam. Arsen biasanya ditemukan di lingkungan dalam bentuk kombinasi senyawa dengan unsur-unsur lain seperti oksigen, klorin, belerang serta unsur mineral dan logam berat.

Pajanan kronis terhadap arsenik berdampak serius bagi kesehatan manusia. Jika terhirup (inhalasi), arsenik dapat memicu stres oksidatif, peradangan, dan gangguan fungsi paru-paru. Melalui konsumsi (ingesti), arsenik dapat menyebabkan lesi pada kulit, meningkatkan risiko kanker, menimbulkan pembengkakan hati, serta mengganggu sistem kardiovaskular. Sementara itu kontak langsung melalui kulit (pajanan dermal) berpotensi menimbulkan iritasi hingga dermatitis.

Paparan logam arsen secara kronis pada penduduk Halmahera Selatan dapat mengakibatkan alergi pada kulit, keratosis dan hiperpigmentasi kulit serta dapat terjadi kanker kulit jika terpapar dalam puluhan tahun. 

Kekhawatiran paparan arsenik di wilayah-wilayah yang terpapar aktivitas industri pertambangan nikel, inilah yang membuat salah satu studi penelitian dari Oka Lesmana dkk menyoroti “Hubungan Kadar Metaloid Arsen (As) pada Air Minum dengan Kejadian Lesi Kulit di Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara.” 

Baca juga: Nestapa Pekerja Tambang, Tertimbun Longsor Tambang Gunung Kuda Cirebon

Hasil studi tersebut menegaskan bahwa paparan arsenik secara terus-menerus, terutama melalui air minum, berdampak langsung pada kesehatan kulit masyarakat. Warga yang mengkonsumsi air minum dengan kadar arsenik tinggi memiliki risiko jauh lebih besar mengalami lesi kulit dibandingkan mereka yang air minumnya mengandung arsenik lebih rendah. 

Secara khusus, kelompok dengan kadar arsenik tinggi dalam air minum memiliki kemungkinan 6,49 kali lebih besar mengalami lesi kulit dibandingkan kelompok dengan kadar arsenik rendah. Temuan ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan kualitas air untuk melindungi kesehatan masyarakat di daerah terdampak tambang.(Kori/Nugrah)