Sulapa Eppa, Filosofi Masyarakat Bugis Memandang Alam Semesta

sulapa eppa
Foto Masyarakat Bugis, Sumber: RRI.co.id
Ekspedisi Jawadwipa

Sulapa Eppa merupakan salah satu filosofi yang ada di Pulau berbentuk huruf “K” memiliki keunikan tersendiri. Tidak hanya bentuk pulaunya saja yang unik, Sulawesi begitu banyak memiliki potensi, salah satunya adalah budaya. Setiap peradaban di dunia ini memiliki filosofi hidupnya sendiri, begitu pula dengan orang Bugis. prinsip hidup orang Bugis terus diturunkan dari generasi ke generasi melalui tinggalan budaya, termasuk di antaranya adalah Aksara Lontara. 

Dalam penelitian Mahbub (2008) mengemukakan bahwa Aksara Lontara adalah sebuah sistem huruf Lontara yang disederhanakan oleh Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Aksara yang digunakan adalah huruf Bugis, Makassar, dan Serang. Lontara sendiri merupakan sebuah lembaran atau buku yang diungkapkan dalam bahasa Bugis, Makassar dan Mandar. Lontara memiliki isi yang beragam, mulai dari kehidupan pribadi, masyarakat, negara, keyakinan, hingga pesan-pesan moral yang berbasis tradisi lokal maupun keagamaan. 

Sulapa Eppa, Filosofi Masyarakat Bugis Memandang Alam Semesta

Aksara Lontara berpangkal pada kepercayaan dan pandangan mitologis orang Bugis Makassar, yang memandang bahwa alam semesta ini sebagai Sulapa Eppa’ Walasuji (segi empat belah ketupat). Hurupu Sulapa Eppa ini juga menyimbolkan elemen-elemen kehidupan di alam semesta yaitu Tuhan, manusia, langit dan bumi beserta isinya.

Mengutip penelitian Aisyah, S. (2022), Budayawan Prof. Mattulada mengatakan bahwa ada beberapa hal yang kemudian dapat digambarkan melalui Sulapa Eppa Walasuji dalam masyarakat di antaranya, yang pertama kosmogoni; berupa air, tanah, angin dan api. Kedua, alam semesta yang terdiri dari langit, bumi atau disebut dengan benua tengah sedangkan masyarakat disebut dengan benua bawah. 

sulapa eppa
karakter SA dalam Aksara Lotara, Sumber: kompasiana.com

Sulapa Eppa Walasuji adalah sebuah perwujudan filosofi hidup masyarakat mengenai alam semesta yang di dalamnya banyak terkandung nilai kelestarian alam dan kemanusaian. Sulapa Eppa Walasuji berkembang dalam bentuk budaya masyarakat Bugis-Makassar yang tumbuh dan berkembang dari buah pikiran dan tindakan mereka dalam berinteraksi dengan alam.

Baca juga : Tina Ngata, Pemimpin Perempuan Bersahaja Asal Kulawi

Melalui filosofi hidup ini, petuah, nasihat dan aturan dijalankan untuk senantiasa menjaga keharmonisan alam. keempat unsur yang ada dalam Sulapa Eppa Walasuji harus selaras, harmonis dan seimbang. Jika tidak dijaga keseimbangannya maka petaka akan menimpa seluruh alam termasuk manusia di dalamnya. Sebab manusia yang memiliki peran paling penting dan bertanggung jawab besar atas pemanfaatan bumi. 

Ini adalah petuah yang terkandung dalam Hurupu Sulapa eppa yang tertuang dalam naskah Latoa: 

Makkadatopi to matoae, 

nakko engka gau’melo’ mupogau, 

iennapijiwi napesummu, napujiwisa 

tangnga’mu, pogaui, muengka ja’na 

teccia ja’na apa’de pura-purai 

decenna totturusiengngi napesunna, 

sangngadinna situru taue tangnga’na na patuju. 

Berkata pula orang dahulu, kalau ada 

perbuatan yang engkau hendak lakukan

dan tidak disukai oleh nafsumu, tetapi 

disukai oleh pertimbangan akalmu, maka 

lakukanlah walaupun ada keburukannya, 

karena tidak ada sama sekali kebaikan bagi 

orang yang menuruti nafsunya, kecuali 

sesuai akal budinya barulah ia benar. 

Pesan lain terdapat pada Ammatoa ri Kajang yang berasal dari masyarakat Kajang di Bulukumba yang memiliki pasang yang menganjurkan menjaga alam semesta, dengan teks sebagai berikut:

nipajari inne linoa lollong bonena 

lanipakkagunai risikonjo 

tummantanga ri bahonna linoa 

mingka u’rangi to’i, larroi 

linoa rikau 

talarie’ nalapangngu’rangia 

Dijadikan bumi beserta isinya 

untuk dimanfaatkan oleh manusia yang 

hidup di bumi 

tetapi ingatlah, apabila bumi marah 

kepadamu 

tak ada yang dapat mencegahnya

Prinsip-prinsip ini diajarkan oleh nenek moyang Bugis bahwa manusia dipersilahkan untuk memanfaatkan bumi, namun harus selalu melestarikan alam. Kelestarian alam adalah tanggung jawab bersama bagi seluruh umat manusia. Bila alam tidak dapat lagi menyeimbangkan diri karena kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia maka bencana akan datang sebagai penyeimbang. 

Nenek moyang mengajarkan kita banyak hal melalui pengetahuan lokalnya, namun banyak di antara kita yang lupa. Keserakahan, kekuasaan dan etika moral yang hilang dalam mengelola alam tanpa sadar telah membawa kita adalah sebuah perencanaan membuat bencana. (LS)

Sumber:

Mahbub, M. A. S. (2008). Hurupu Sulapa Eppa, Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Jurnal Hutan dan Masyarakat3(1), 8221.

Ridhwan, R. (2018). Pendidikan Karakter dalam Lontara Latoa. EKSPOSE JURNAL HUKUM DAN PENDIDIKAN27(1).

Aisyah, S. (2022). Filosofi Sulapa Eppa Walasuji dalam Perspektif Semiotika Roland Barthes (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).