Siklon Senyar, Antara Anomali Krisis Iklim dan Deforestasi

Ilustrasi Siklon Senyar, Foto: Dok. cireboners.id
Ekspedisi Jawadwipa

Nama Siklon Senyar mencuat sebagai salah satu pemicu utama terbentuknya cuaca ekstrem yang berujung pada banjir meluas. Hujan deras yang turun tanpa jeda selama berhari-hari kembali menenggelamkan permukiman, lahan pertanian, dan akses jalan di sejumlah wilayah. Kemudian pertanyaanya, apakah Siklon Senyar semata-mata anomali alam yang datang tiba-tiba, ataukah ia merupakan bagian dari rangkaian panjang krisis iklim yang diperparah oleh tangan manusia melalui deforestasi dan perubahan tata guna lahan?

Dalam beberapa dekade terakhir, pola cuaca di berbagai belahan dunia menunjukkan kecenderungan semakin tidak menentu. Musim hujan yang dahulu lebih bisa diprediksi kini bergeser sebaliknya, intensitasnya meningkat, selain itu durasinya semakin sulit ditebak kadang berkepanjangan. Siklon tropis dan siklon yang langka seperti siklon senyar yang umumnya terbentuk di atas lautan hangat, kini membawa dampak lebih luas ke wilayah daratan, termasuk kawasan yang sebelumnya jarang terdampak langsung, seperti Indonesia.

Di saat yang sama, bentang alam yang seharusnya menjadi pelindung alami justru terus menyusut. Hutan sebagai penyerap air dan akar penahan daya tampung semakin tergerus oleh pembalakan, alih fungsi lahan, dan dengan atas nama pembangunan. Tanah kehilangan kemampuan menyerap air secara optimal, sungai menyempit dan dangkal akibat sedimentasi, menjadikan hujan lebat tak lagi terserap, melainkan langsung berubah menjadi banjir bandang. Peristiwa ini tak bisa hanya dibaca sebagai bencana alam tetapi kacamata bahwa manusia telah terburu-buru melakukan sesuatu sedang alam hanya berjalan sesuai siklusnya.

Siklon Senyar, Antara Anomali Krisis Iklim dan Deforestasi

siklon senyar
Kerusakan akibat banjir, Foto: Kementrian PKP

Siklon Senyar yang digadang gadang menjadi penyebab banjir bandang di Pulau Sumatera menjadi menarik dibahas, sebab sebelum Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memantau dan memprediksi adanya Bibit Siklon 95B di kawasan Selat Malaka, bagian timur Aceh telah berevolusi menjadi Siklon Senyar pada 26 November 2025 pukul 07.00 WIB.

Ini yang menjadi perhatian sebab menurut Direktur Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani, Indonesia berada dekat garis ekuator yang secara teori kurang mendukung terbentuknya atau dilintasi siklon tropis. Dalam dokumentasi BMKG, Andri menyampaikan bahwa dalam lima tahun terakhir cukup banyak siklon tropis yang bergerak mendekati wilayah Indonesia dan memberikan dampak yang signifikan, termasuk apa yang kini terjadi di Sumatera.

Artinya ada anomali cuaca yang baru-baru ini terjadi di atmosfer kita, segalanya menjadi sulit diprediksi dan menjadi ancaman baru jika tidak benar-benar dalam pemantauan dan dikaji lebih lanjut, terkait situasi atmosfer yang telah mengalami perubahan signifikan karena akumulasi krisis iklim.

Paduan yang sempurna antara kerusakan atmosfer serta daya serap bumi yang menyusut akibat penggundulan hutan serta alih fungsi lahan, bukti yang sejauh ini paling nyata adalah banjir bandang yang terjadi menyeret ratusan bahkan ribuan gelondongan pohon tanpa daun dan tanpa akar, di sejumlah wilayah terdampak banjir Sumatera. 

Sejumlah LSM telah berbicara mengenai kejadian ini, seperti yang dikutip dari Mongabay, Provinsi Sumatera Barat telah kehilangan sekitar 1.153.993 hektar hutan sepanjang periode 1980–2024. Hilangnya tutupan hutan tersebut dipicu oleh alih fungsi wilayah resapan air menjadi konsesi perkebunan dan pertambangan, yang semakin memperparah kondisi lingkungan di wilayah itu.

Andre Bustamar, staf Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat WALHI Sumatera Barat, mengatakan saat ini terdapat 25.832 hektar konsesi pertambangan, 183.438 hektar Hak Guna Usaha (HGU), serta 268.177 hektar izin eksploitasi hutan di Sumatera Barat. Selain itu, pemerintah masih berencana menerbitkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 20.000 hektar di provinsi tersebut.

siklon senyar
Ilustrasi Deforestasi, Foto: Dok. sepucukjambi.id

Hampir seluruh Pulau Sumatera tak luput dari kerusakan dan kehilangan hutan. Analisis Greenpeace Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas daerah aliran sungai (DAS) di pulau ini berada dalam kondisi kritis, dengan tutupan hutan alami tersisa kurang dari 25 persen.

Salah satu DAS yang mengalami kerusakan paling parah adalah DAS Batang Toru, yang mencakup wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah.

Dalam kurun waktu 1990–2022, terjadi deforestasi sekitar 70.000 hektar atau setara dengan 21 persen dari total luas DAS Batang Toru. Kondisi tersebut menyisakan sekitar 167.000 hektar kawasan berhutan, atau hanya 49 persen dari total luas DAS tersebut.

Baca juga: Masa Tanggap Darurat Bencana Sumatera Hampir Habis, Bagaimana Nasibnya?

Banjir Bandang yang terjadi di Sumatera telah menjawab bagaimana alam ingin menyuarakan tentang dirinya. Lingkungan dirusak, bencana yang bertindak sebagai bagian dari suara alam. Dari anomali siklon senyar hingga daya dukung yang melemah menunjukan kerentanan manusia dalam menghadapi bencana. Ketangguhan bencana tidaklah harus menunggu semuanya rusak dan alam bertindak, mulai dari menjaga lingkungan, hal paling sederhana tangguh bencana.(Kori/Nugrah)