Cerita ini datang dari Pulau Sumbawa. Di Bagian timur pulau ini, hiduplah sekelompok manusia yang mendiami wilayah bernama Dana Mbojo. Ada yang menjelaskan bahwa Dana berarti tanah, sedangkan Mbojo adalah sebutan lokal untuk daerah Bima. Ada juga yang mengatakan dana Mbojo yang berasal dari kata ‘babuju’ yang memiliki arti tanah yang tinggi.
Dou Mbojo atau orang-orang yang tinggal di Dana Mbojo (tanah/daerah Bima), adalah kelompok etnis yang berakar dari bangsa Austronesia yang datang ke Pulau Sumbawa 2000 tahun sebelum Masehi. Mereka adalah bagian dari ProtoMalayan Austronesia (bangsa Melayu) yang mendiami wilayah Nusantara dengan ciri-ciri fisik yang tipikalnya berkulit sawo 8 matang, mata coklat, berambut lurus, dan berhidung pesek.
Dalam proses perjalanan hidupnya, orang-orang Duo Mbojo mendiami wilayah-wilayah dataran rendah dan pesisir dari Pulau Sumbawa bagian timur, terutama di daerah-daerah di seputar Teluk Bima yang subur yang memungkinkan mereka melakukan pencaharian hidup melalui bertani, melaut, atau berburu. Di antara mereka ada juga yang mendiami daerah-daerah pesisir bagian selatan sekitar Teluk Waworada, bagian barat di teluk Cempi, bagian timur di Sape dan Lambu, serta pesisir utara di sekitar Pulau Sangiang.
Parafu, Kearifan Lokal Suku Mbojo dalam Melindungi Sumber Air

Suku Mbojo memiliki cara hidup tersendiri. Ada suatu keunikan dalam cara hidup mereka yang tertuang dalam tradisi Parafu. Sebelum masuknya islam, orang-orang Bima percaya bahwa ada kekuatan pada pemimpin yang mereka angkat sendiri dan disebut sebagai ”ncuhi ro naka”. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam lain yang mereka sebut sebagai “Parafu”.
Dilansir dari detikTravel, aktivis kebudayaan masyarakat Bima, Alan Malingi mengungkapkan di lereng Gunung Lambitu, terutama di Desa Kuta, Desa Sambori dan sekitarnya, istilah Parafu identik dengan sumber mata air. Parafu dapat berupa mata air tertentu yang dijaga dan dibersikan secara turun temurun oleh keturunan pemangku warisnya. Namun tidak semua mata air dapat menjadi Parafu.
Terdapat kriteria dan karakteristik lainnya yang dipertimbangkan leluhur untuk menjadikan sumber mata air sebagai parafu. Kondisi alam di sekitar parafu sangat asri. Pepohonan besar seperti beringin, bambu, duwet dan pohon lain tumbuh subur. Pemandangan yang sangat berbeda dengan di lereng-lereng perbukitan yang terlihat gersang dan tetumbannya meranggas.
Baca juga: Sulapa Eppa, Filosofi Masyarakat Bugis Memandang Alam Semesta
Warga Dana Mbojo meyakini bahwa Parafu harus dijaga kelestariannya. Pepohonan dan tumbuhan yang berada di area sekitar Parafu tidak diperbolehkan untuk dirusak, apalagi ditebang. Warga di sekitar sana juga tidak boleh membuang air sembarangan di sekitar area Parafu. Semua larangan tetap dipatuhi oleh warga di sekitar Parafu hingga kini.
Terdapat sedikitnya empat titik Parafu di Desa Kuta, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Titik Parafu yang masih bisa ditemui di desa ini yaitu Lanco, Oi Mbou, Ama Sele, dan Lombi.
Warga Desa Sambori menceritakan bahwa setiap tahun Parafu dibersihkan dan yang membersihkannya adalah keturunan orang yang diberikan wewenang untuk menjaganya. Biasanya, keturunan pemegang Parafu mengajak warga untuk membersihkan parafu secara bergotong-royong. Walau dahulu Parafu dianggap mitis, namun pada intinya sejak dahulu leluhur Dana Mbojo melarang untuk merusak mata air agar kehidupan di wilayah ini tetap lestari.
Sumber:
http://repository.uinmataram.ac.id/340/1/Text.pdf