Jejak Peristiwa Gempa pada Susastra Masa Klasik di Jawa

Ekspedisi Jawadwipa

Bak menemukan harta karun tidak ternilai, itulah yang dirasakan oleh sepuluh pemuda yang mengikuti Ekspedisi JawaDwipa ketika menemukan Sejarah peristiwa gempa. Kegiatan ini didukung oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan juga Pemerintah Australia melalui Program Siap Siaga. Dari perjalanan ini banyak sekali pengetahuan yang kembali tergali. Ternyata nenek moyang kita mengabadikan peristiwa gempa di masa lalu melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui tinggalan susastra.

Susastra yang terbagi menjadi dua yakni berhubungan dengan cerita religi dan cerita tokoh. Adapun sastra terbagi dua menurut jenisnya yakni prosa dan kakawin (puisi). Kata gempa didapati dalam beberapa cerita sastra yang berbau religi. Terdapat beberapa kitab yang menuliskan mengenai peristiwa gempa dengan berbagai kata di antaranya kata ‘lindu’, ‘kampa’ dan ‘guntur’.

Jejak Peristiwa Gempa pada Susastra Masa Klasik di Jawa

Berikut ini adalah beberapa kesusastraan yang menuliskan kata lindu, kampa dan guntur di dalamnya:

Nagarakertagama 1.4 (Pigeaud, 1960:3)

liṇḍuṅ bhūmi ketug hudan hawu gêrh kilat awiltan iŋ nabhastala, guntur ttaŋ himawān ri kāmpud ananaŋ kujana kuhaka māti tanpagap’Gempabumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar; Gunung Kampud (Kelud) meletus membunuh durjana, penjahat musnah dari negara.

Dalam kitab Pararaton (Brandes,1896:29-32), terdapat kata Guntur dan palindu yang sama sama menerangkan peristiwa gempa dalam kalimat sebagai berikut:

‘Tumuli guntur pamadasiha i saka rêsi-sunya-guna-tunggal, 1307’lalu terjadi gunung meletus di minggu Madasia, tahun saka: resi-sunya-guna-tunggal, 1307 (1385).
Tumuli guntur Prangbakat i saka mukaning-wong-kaya-naga, 1317’;lalu terjadi gunung meletus di minggu Prangbakat, tahun saka: muka-wong-kaya-naga, 1317 (1395).
‘Tumuli guntur pajulung-pujut, i saka kaya-weda-gunaning-wong, 1343’lalu terjadi gunung meletus di minggu julungpujut, tahun saka: kaya-weda-guna-wong, 1343 (1421)
‘Tumuli palindu i saka paksa-gananahut-wulan, 1362’lalu terjadi gempa di tahun saka: paksa-gana-nahut-wulan, 1362 (1440).
‘Tumuli guntur pakuningan i saka wëlut-wiku-anahut-wulan, 1373’    lalu terjadi gunung meletus di minggu kuningan, tahun saka: welut-wiku-nahut-wulan, 1373 (1451).
peristiwa gempa
Gambar 1. Lempengan prasasti Warungahan di Desa Prunggahan, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban

Kata kampa juga terdapat dalam Prasasti Warungahan yang telah ditulis pada sub bab sebelumnya, berikut adalah kalimatnya:

lempang III.b baris 2 “°ika taŋ praśāsti hilaŋ ri kāla niŋ bhūmi kampa  (praśāsti itu (telah) hilang ketika bhūmi berguncang).

Jika melihat dari susastra yang ada di Masa Klasik, penamaan peristiwa gempa pada masa ini memiliki sebutan berbeda dan spesifik. LIṆḌŪ diartikan dengan bergoyang, bergetar, gempabumi, lindu (Zoetmulder, 2004: 600). Kata ‘lindu’ adalah kata yang paling sering dipakai untuk menggambarkan peristiwa gempa di berbagai kesusastraan masa Klasik.

Dalam Pararaton, ditemukan banyak kata ‘guntur’ dan hanya satu kata ‘lindu’ yang ditulis sebagai ‘palindu’. kata GUNTUR Istilah “guntur” banyak disebut untuk menggambarkan peristiwa vulkanik. Secara harfiah, istilah ini berarti: banjir (dengan batu-batu dan lahar, dari letusan gunung berapi), atau bisa juga berarti sungai gunung yang bergemuruh (Zoetmulder 1995:318). Jelas bahwa kata ini berkenaan dengan peristiwa vulkanik (Cahyono, 2012). Dari naskah ini, dapat terlihat perbedaan makna dari kata ‘guntur’ dan ‘lindu’. Kata ‘guntur’ erat kaitannya dengan aktivitas gunung berapi.

Sementara, kata kampa adalah kata yang paling jarang digunakan untuk menggambarkan peristiwa gempa. Kata KAMPA berarti getaran, goncangan, bergetar (Zoetmulder, 2004: 451). Dalam prasasti Arjuna Wijaya ini ditemukan kata ‘kampacala’ yang merupakan gabungan dari kata ‘kampa’ dan ‘acala’. ‘Kampa’ berarti gempa dan ‘acala’ adalah nama sebuah gunung. Kata kampa juga terdapat dalam prasasti Warungahan yang menyebut “°ika taŋ praśāsti hilaŋ ri kāla niŋ bhūmi kampa” yang berarti (praśāsti itu (telah) hilang ketika bhūmi berguncang).

Pada kasus hilangnya prasasti Warungahan menandakan bahwa peristiwa gempa yang terjadi kala itu sangat besar sehingga prasasti yang umumnya terbuat dari bahan-bahan keras seperti batu dan logam bisa hilang seketika. Dari berbagai kata gempa dalam kesusastraan Jawa kuno mengindikasikan bahwa pada zaman dahulu masyarakat Jawa mendeskripsikan kejadian gempa dengan spesifik dalam setiap pemilihan kata. 

Selain kata gempa, terdapat pula naskah kuno yang menggambarkan kondisi terjadinya gempa. seperti pada naskah Negarakertagama (Pigeaud, 1960:15) pada kalimat berikut:

‘tāmbeniŋ kahawan / winārnna ri japan / kuti kuti hana candi sāk rbahpertama melalui Japan kemudian di Kuti (asrama kependetaan Buddha), ada bangunan candi yang ambruk berantakan.

Gambaran kejadian gempa pada naskah ini terdapat pada keterangan Kuti atau asrama kependetaan Budhha, ada candi yang ambruk. Kejadian gempa ini ditulis jelas dalam Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca.

Dahulu ketika Raja Hayam Wuruk berkunjung melakukan perjalanan hingga sampai pada daerah Japan (daerah di Kecamatan Sooko, Mojokerto), mereka menjumpai bangunan Kuti atau asrama kependetaan Buddha dan juga bangunan candi yang roboh. Tidaklah mungkin sebuah candi dan kuti hancur seketika bila bukan karena serangan musuh. Kondisi bangunan yang roboh pada saat itu hanya dimungkinkan karena ada gempabumi, sebab kerajaan Majapahit dalam keadaan stabil kala itu dan tidak ada deskripsi mengenai peperangan sebelumnya.

peristiwa gempa
Ilustrasi Candi Rusak Karena Gempa, Foto: Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)

Tulisan ini dicatat ketika Empu Prapanca dan Hayam Wuruk akan melakukan perjalanan. Dari tulisan ini dapat diindikasikan bahwa peristiwa gempa dengan kekuatan besar terjadi sebelum kedatangan Empu Prapanca yang melakukan pencatatan perjalanan Hayam Wuruk.

Baca juga: Jejak Sejarah Gempa di Desa Prunggahan, Tuban

Namun waktu kejadian gempa tersebut dimungkinkan tidak berbeda jauh dengan kedatangan Empu Prapanca, sebab kerusakan masih terlihat jelas. Kata demi kata begitu meresap dalam sanubari sepuluh pemuda pelaku ekspedisi. Kemudian mereka berpikir bahwa susastra masa lalu dapat menjadi pengetahuan bahwa beberapa tempat ternyata memiliki ancaman bencana gempa. Pengalaman menghadapi gempa di masa lalu dan jejak sejarahnya dalam susastra seharusnya membuat kita yakin, ancaman gempa di Pulau Jawa itu nyata dan kita harus siapsiaga.

Penulis: Lien Sururoh

Editor: Nugrah