Indonesia Mulai Melirik Nuklir dalam Bayang Resiko Bencana

Ilustrasi Penmbangkit Tenaga Nuklir, Foto: Dok. marwahkepri.com
Ekspedisi Jawadwipa

Pemerintah Indonesia kembali mengangkat wacana pemanfaatan energi nuklir sebagai bagian dari strategi jangka panjang transisi energi nasional. Salah satu langkah yang kini tengah dibahas adalah kerja sama dengan Rusia untuk pengembangan teknologi Small Modular Reactor (SMR) atau reaktor nuklir kecil, berkapasitas 500 megawatt. Meskipun begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam wawancara pada media antara Jumat (20/6/2025), menegaskan bahwa proyek ini masih berada pada tahap studi kelayakan (feasibility study) dan belum memasuki tahap implementasi.

nuklir
Ilustrasi Uranium, Foto: canva

Isu ini juga ramai diperbincangkan di media sosial karena bahan baku utama energi ini sendiri, yaitu uranium, diketahui banyak ditemukan di wilayah Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Melawi. Berdasarkan dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, cadangan uranium di wilayah tersebut diperkirakan mencapai 24.122 ton. Dengan potensi sebesar itu, Kalimantan Barat dinilai sebagai lokasi yang strategis untuk mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Indonesia Mulai Melirik Nuklir dalam Bayang Resiko Bencana

Tentu ini bukan pertama kalinya Indonesia berkenalan pada energi yang dianggap ramah lingkungan namun tinggi resiko ini, pada 1965 Presiden Sukarno meresmikan Reaktor Nuklir Triga Mark II yang kini dikenal sebagai Triga 2000, yang berada di kawasan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bandung. Reaktor ini menjadi reaktor pertama di Indonesia, sekaligus menandai awal mula eksplorasi energi ini di tanah air. 

Reaktor yang dulu berada di Bandung bukan digunakan untuk pembangkit listrik melainkan dipakai untuk penelitian ilmiah, pendidikan, dan produksi bahan radioaktif yang digunakan di bidang kesehatan dan industri. Seiring waktu kapasitas reaktor ini ditingkatkan agar bisa digunakan lebih luas. Pada tahun 2000, setelah melalui proses modernisasi, namanya pun berubah menjadi Triga 2000. Saat ini, meskipun perannya sebagai pusat riset utama sudah berpindah ke reaktor yang lebih besar di Serpong, Triga 2000 tetap berfungsi sebagai tempat pembelajaran dan pelatihan.

Pengembangan teknologi ini sendiri di Indonesia masih terasa asing bagi banyak masyarakat. Hal ini disebabkan oleh masih kuatnya persepsi negatif dan ketakutan terhadap risiko penggunaan tenaga ini, baik karena bencana maupun radiasi. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, penggunaan tenaga ini sendiri di Indonesia hanya diperbolehkan untuk tujuan damai, seperti di bidang kesehatan, industri, dan riset. Untuk menjamin keamanan, setiap pemanfaatan teknologi ini misalnya alat medis di rumah sakit harus memperoleh izin resmi dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir. 

nuklir
Ilustrasi Risiko Nuklir, Foto: freepik

Selain karena resiko paparan radiasi dan kegagalan teknologi energi ini juga banyak ditentang karena anggapan lokasi geografis Indonesia yang merupakan daerah cincin api yang rawan dengan kejadian gempa dan aktivitas bencana alam. Kekhawatiran ini semakin menguat setelah tragedi Fukushima di Jepang pada tahun 2011, ketika tsunami besar merusak sistem kelistrikan dan pendingin reaktor, hingga menyebabkan reaktor meleleh (meltdown) dan memicu radiasi nuklir yang parah.

Ketakutan terhadap nuklir juga diperkuat oleh kejadian temuan paparan radiasi tak normal di Perumahan Batan Indah, Serpong, pada awal 2020. Badan Pengawas Tenaga Nuklir menemukan sumber cemaran radioaktif di lahan kosong yang memerlukan proses dekontaminasi selama lebih dari dua minggu. Meskipun dalam laporan, jangkauan radiasinya terbatas dan tidak membahayakan air tanah.

Baca juga: Eropa Lumpuh: Bencana Pemadaman Listrik Dunia

Dikutip dari Tirto.id, ditengah ketakutan akan pengembangan energi nuklir, ternyata dukungan masyarakat terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun,. Jika pada 2011 hanya 49,5 persen responden yang menyetujui, angka ini terus naik menjadi 52,9 persen pada 2012, 64,1 persen pada 2013, 72 persen pada 2014, dan mencapai 75,3 persen pada 2015. Meski begitu kelompok-kelompok aktivis lingkungan seperti WALHI dan Greenpeace tetap menyuarakan kekhawatiran terhadap risiko lingkungan, terutama jika PLTN dibangun di kawasan yang masih beresiko gempa.(Kori/Nugrah)

Sumber:

https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/sinar-gamma-di-bawah-pohon-mangga

https://www.kompas.com/kalimantan-barat/read/2025/06/20/185916288/harta-karun-24112-ton-uranium-di-kalimantan-barat-bagaimana

https://nasional.kompas.com/read/2025/06/20/19130701/indonesia-rusia-matangkan-studi-pembangunan-reaktor-nuklir

https://www.dw.com/id/energi-nuklir-di-indonesia-antara-ambisi-dan-realita/a-72679788

https://tirto.id/survei-batan-klaim-masyarakat-indonesia-dukung-pltn-cf1u