Diskriminasi Ganda pada Perempuan saat Bencana

Perempuan beraktivitas di tenda pengungsian, foto: Tempo/M Taufan Rengganis
Ekspedisi Jawadwipa

Diskriminasi terhadap perempuan nyatanya saat ini bukanlah hal yang asing didengar, karena menurut catatan Komnas Perempuan terdapat sebanyak 339.782 pengaduan, dari total pengaduan tersebut adalah kekerasan berbasis gender (KBG), yang 3442 di antaranya diadukan ke Komnas Perempuan. Kekerasan di ranah personal masih mendominasi pelaporan kasus KBG, yaitu 99% atau 336.804 kasus. 

Pada pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61% atau 2.098 kasus. Untuk kasus di ranah publik, tercatat total 2978 kasus dimana 1.276 di antaranya dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Sementara itu, kasus kekerasan di ranah negara hanya ditemukan di Komnas Perempuan, dengan peningkatan hampir 2 kali lipat, dari 38 kasus di 2021 menjadi 68 kasus di 2022. Diskriminasi terhadap perempuan ini terjadi akibat adanya ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. 

Kajian mengenai perempuan dan segala turunannya dirangkum dalam kajian gender atau feminisme yang menuntut adanya kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan. Dalam kajian gender ini banyak variabel yang mempengaruhi belum terciptanya kesetaraan bagi perempuan atau bahkan laki-laki sendiri. Isu gender menjadi isu multisektor yang cakupannya sangat luas, baik melalui pemikiran atau bahkan gerakan.

diskriminasi
Ilustrasi pengungsi Perempuan, Foto: Dok. BNPB

Diskriminasi Ganda pada Perempuan saat Bencana

Dalam kondisi tertentu perempuan bisa 2 kali lipat menanggung resiko terjadinya diskriminasi seperti yang terjadi saat terjadinya bencana. Perempuan dianggap sebagai kelompok yang paling rentan dan yang paling dirugikan selama terjadi bencana,beban mereka meningkat, kebutuhan perempuan jarang disediakan, kapasitas mereka seringkali diabaikan dan partisipasi mereka di dalam bagian dari pembuat keputusan tidak diminta, parahnya dalam kondisi bencana perempuan pun rawan mengalami pelecehan seksual.

Dilansir dari tirto terdapat 57 kasus penganiayaan fisik dan seksual termasuk pemerkosaan yang dilaporkan selama penilaian cepat kekerasan berbasis gender yang dilakukan selama November 2018 hingga Januari 2019. 

Pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan itu terjadi di fasilitas mandi cuci kakus, area gelap, dan terisolasi, serta di kamp pengungsian dan tenda-tenda. UN Women mengatakan ini adalah salah satu fenomena gunung es, yang terlaporkan dan tercatat jumlahnya jauh lebih sedikit daripada jumlah kejadian yang sesungguhnya. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini dapat terjadi, diantaranya: penyintas takut melapor, tidak tahu kemana harus melapor, merasa aib, atau pelaku kerap mengancam atau bahkan tinggal bersama penyintas. 

Baca juga: Kampung Ramah Lingkungan (KRL) Matahari, Memelihara Lingkungan untuk Kehidupan Lebih Baik

Situasi keterbatasan pascabencana juga membuat sistem pelaporan dan pencatatan semakin sulit dilakukan karena tidak tersedianya layanan bagi penyintas, akibat rusaknya fasilitas, serta tenaga/sumber daya manusia yang terbatas karena sebagian ikut menjadi korban bencana. Solusi yang ditawarkan dalam pencegahan diskriminasi perempuan pra, saat atau pasca bencana sebenarnya sudah mulai dirancang sedemikian rupa oleh berbagai pihak yang terkait, namun lagi-lagi situasi rentan ini yang membuat perempuan dihadapkan pada potensi diskriminasi.

Penulis: Kori Saefatun

Editor: Nugrah Aryatama

Sumber:

  • Diah Wulandari Perempuan Dalam Konstruksi Pemberitaan Bencana Jurnal Makna Vol. 1. No. 1
  • https://tirto.id/57-kasus-kekerasan-seksual-terjadi-saat-bencana-sulawesi-tengah-ehpi
  • Integrasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis-Gender dalam Situasi Bencana. UN Women 2021
  • Juli Sapitri Siregar, Adik Wibowo. Upaya Pengurangan Risiko Bencana Pada Kelompok Rentan. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 10, No. 1 Tahun 2019 Hal. 30-38
  • Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Perlindungan dan Pemulihan Jakarta, 7 Maret 2023.