Setelah perkembangan besar teknologi, artificial intelligence atau AI kini menjadi fitur yang paling sering digunakan dalam kehidupan manusia. Fitur-fitur ini memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dalam pekerjaan, pendidikan, politik bahkan ranah personal seperti bercerita dengan teknologi yang satu ini, sekarang bukanlah hal yang menjadi rahasia.
Dilansir dari Goodstats, pada 2023 Indonesia merupakan negara ketiga yang paling besar dalam penggunaan teknologi AI setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia sendiri selama tahun tersebut menyumbang sebesar 1,4 juta kunjungan.
Di Indonesia trend Artificial Intelligence atau AI sudah tidak asing dikenal, aplikasi seperti meta, open ai (chat gpt) dan aplikasi-aplikasi serupa menjamur digunakan oleh masyarakat. Dilemanya perkembangan ini kadang juga tidak didasarkan pada kesadaran masyarakat untuk tidak bergantung penuh pada penggunaan teknologi buatan.

Sebab dalam beberapa kasus AI digunakan sebagai alat penyebar berita bohong atau hoax yang terjadi di media sosial. Dalam konteks bencana ini sering terjadi, kemudahan memberi perintah pada AI menciptakan gambar-gambar yang terlihat seperti realita; kebakaran, banjir, tsunami sering kali diedit berlebih sehingga menimbulkan kecemasan berlebih pula di masyarakat.
Artificial Intelligence (AI) Benarkah Teknologi yang Rakus Air?
Sebenarnya ada dampak yang lebih besar dari hulu penggunaan Artificial Intelligence, yang tidak semua dapat menyadarinya. AI adalah teknologi buatan manusia yang semua datanya tersimpan dalam pusat data besar, suhu di pusat data menjadi panas saat listrik mengalir melalui komputer, pusat data ini membutuhkan banyak pasokan air untuk mendinginkan server data mereka.
Menurut Food and Water Watch pada 2008, AI di Amerika Serikat, mengkonsumsi 300 (TWh) energi setiap tahunnya, dan membutuhkan sebanyak 720 miliar galon tiap tahunnya, air tersebut jika dihitung sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan air 18,5 juta rumah tangga. Sedangkan pada 2022, Google, Microsoft, dan Meta diperkirakan menggunakan 580 miliar galon air untuk menyediakan daya dan pendinginan bagi pusat data dan server AI. Jumlah air tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan tahunan 15 juta rumah tangga.

Dengan penggunaan Artificial Intelligence yang terus meningkat di berbagai belahan dunia, IEA memprediksi bahwa penggunaan air di pusat-pusat data akan berlipat ganda pada 2030, ini termasuk air yang digunakan untuk pembangkitan energi dan pembuatan chip komputer.
Pusat data dan AI harus menggunakan air bersih yang telah diolah dan hanya bisa mengembalikan sebagian besar air tersebut ke sumber air asalnya. Seperti yang terjadi di pusat data milik Google, ia hanya membuang 20% air yang diambil ke instalasi pengolahan air limbah. Sisanya 80% hilang karena proses penguapan.
Penggunaan ini tentu membebani persediaan air lokal, sehingga menguras air yang dibutuhkan penduduk dan petani. Di beberapa wilayah pusat data AI dibangun di wilayah kering dengan pasokan air yang minim seperti wilayah Arizona.
Baca juga: Ketika Media Sosial Menjadi Alat Tanggap Darurat
Jika ini terus terjadi dan tidak ada pengembangan teknologi, Artificial Intelligence yang rakus air akan menjadi masalah serius sebab di tengah kondisi krisis iklim, manusia akan bersaing dengan teknologi buatannya untuk memperoleh pasokan air bersih.(Kori/Nugrah)