Apakah Metro Jakarta Siap Menghadapi Risiko Gempa Bumi ?

jakarta
ilustrasi gempa, Sumber: dok. Shutterstock
Ekspedisi Jawadwipa

Jakarta, Mengakhiri tahun 2023  dan sekaligus memulai tahun 2024 kita diingatkan akan bahaya gempa yang mengancam kehidupan manusia, secara khusus daerah pemukiman padat penduduk. Pada tanggal 31 Desember 2023, di Sumedang Jawa Barat, gempa terjadi beberapa kali dan yang terkuat dicatat BMKG sebesar Magnitudo 4,8. Walaupun secara kekuatan intensitasnya ringan, namun menurut Pj Bupati Sumedang, Herman Suyatman, gempa itu berdampak pada 138 unit rumah rusak ringan dan 100 lainnya rusak berat.

Mengawali tahun 2024, di belahan bumi yang lain, di negeri selaksa gempa Jepang terjadi juga getaran “lindu’ yang cukup mengagetkan perfektur Ishikawa. Per 3 Januari 2024, gempa dengan Magnitudo 7,6 itu,menurut televisi Jepang NHK, mengakibatkan 64 warga tewas. Selain itu puluhan rumah ambruk rata dengan tanah, juga kebakaran melalap sekitar 200 rumah di kota Wajima. Dampak gempa juga membuat puluhan ribu rumah tidak memiliki aliran listrik di tengah suhu rendah di musim dingin. Pemerintah setempatpun mengkhawatirkan masih banyak korban yang terperangkap dalam rumah dan bangunan yang runtuh.

Apakah Metro Jakarta Siap Menghadapi Risiko Gempa Bumi ?

Dua kejadian gempa tersebut menunjukkan bahwa siapapun tidak bisa menganggap enteng risiko gempa secara khusus di Indonesia, negeri yang dikenal sebagai area “ring of fire”.  Ternyata dengan kekuatan yang relatif rendah di Sumedang, gempa dapat mengakibatkan nestapa bagi warga yang harus kehilangan rumah dan mengalami kerugian ekonomi. Di Jepang, negeri yang dikenal sebagai tempat pembelajaran praktik penanggulangan risiko gempa terbaik, masih juga harus menghadapi dampak yang merusak dan berakibat fatal bagi kehidupan warganya.

Sejatinya, untuk Indonesia kita perlu mengambil hikmah akan hadirnya risiko gempa di seantero tanah dan air kita. Gempa bisa terjadi di dasar laut lepas yang berpotensi menghasilkan tsunami, namun gempa juga dapat terjadi dengan pusat episentrum di daratan. Semuanya bisa merusak, mengakibatkan kehilangan nyawa dan kerugian ekonomi yang menghambat proses pembangunan. Menurut laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), “Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat”. (Arnold, 1986).

Di tahun 2023 yang baru berlalu, Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat 30 kali kejadian gempa dalam skala yang merusak, terbanyak dalam 23 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas dampak juga harus menjadi perhatian semua pemangku kepentingan. Negara harus mengupayakan pengurangan risiko gempa yang menurut Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 sebagai Amanah yaitu, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Kita tidak mau lebih banyak korban, kehilangan,serta kerugian karena keteledoran dan pembiaran terhadap risiko gempa. Secara khusus area perkotaan seperti aglomerasi urban Jakarta Metropolitan dengan kepadatan penduduk yang tertinggi di Indonesia harus mendapat perhatian khusus. Sejarah mencatat gempa besar yang merusak pernah terjadi di Jakarta dan sekitarnya pada 5 Januari 1699, 22 Januari 1780 dan 10 Oktober 1834. Tiga kejadian itu membuat kita selayaknya waspada, selain banyak lagi gempa-gempa lain, empat terakhir terjadi pada  kurun waktu 2018, 2019 dan 2022.

Baca juga: 10 Kelurahan di Kecamatan Cibinong Sepakat Bentuk KSB / DESTANA

Memberikan pemahaman melalui edukasi kebencanaan risiko gempa sudah selayaknya menjadi tugas bersama pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Adalah sebuah tantangan yang besar untuk memberikan literasi ancaman gempa di area metropolitan Jakarta. Dari survey internal  program USAID KUAT (Komunitas Perkotaan Untuk Aksi Tangguh)* kepada  warga Jakarta dan sekitar yang dilakukan secara acak kepada 585 warga di daerah Jakarta, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor, didapatkan hanya 8% dari mereka yang sadar akan adanya bahaya gempa. Temuan awal ini meggambarkan bahwa diperlukan kerja keras untuk dapat memberikan kesadaran baru memasuki tahun 2024 dan seterusnya bahwa Jakarta dan sekitarnya memiliki risiko bencana yang dapat merusak semua.

Ketika kita bersama disibukkan dengan berbagai isu di tahun politik 2024 ini, dan juga pemindahan ibukota negara dari DKI Jakarta ke IKN, maka semua diingatkan lagi bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dan warga untuk meningkatkan mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa. Pengurangan Risiko bencana yang berupaya meningkatkan resiliensi kota, dalam hal ini Jakarta dan sekitarnya, harus menjadi salah satu prioritas kebijakan publik maupun pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan yang terukur dan menghasilkan warga perkotaan yang tangguh menghadapi risiko gempa bumi.

Kerja bersama yang cerdas dan sekaligus tangkas diperlukan agar warga kota dan pendatang harian (commuter)dapat dijamin keselamatannya dalam beraktifitas di kota Jakarta dan sekitarnya. Pemerintah perlu mengambil keputusan politik yang sehat dan berwawasan untuk meningkatkan ketangguhan kota agar semakin dapat melindungi warga, aktifitas pembangunan, dan ekonomi yang ada. Pengabaian terhadap ancaman gempa di Jakarta dan sekitar akan berdampak secara nasional, karena sampai saat ini Jakarta masih menjadi barometer dan jantung ekonomi NKRI.

Kembali kepada ancaman gempa dan risikonya, walaupun belum ada alat untuk bisa memprediksi kapan sebuah gempa besar terjadi namun upaya upaya pengurangan risiko gempa sudah dan perlu disegerakan ada. Data dari Pusat Studi Gempa Nasional yang didukung oleh semua elemen pemerintah lainnya perlu menjadi rujukan untuk kebijakan politik yang tepat. Kebijakan yang membuahkan porsi anggaran yang memadai, peraturan bangunan dan penegakan hukum, serta kesiapsiagaan semua pihak sudah tidak bisa ditunda lagi.

Jangan lagi terjadi penyesalan yang datang terlambat terjadi kepada anak-anak bangsa di komunitas perkotaan Jakarta dan sekitarnya. Pepatah lama “Sedia Payung Sebelum Hujan” masih relevan dalam menangani isu gempa perkotaan ini. Hal yang terbaik yang bisa dilakukan adalah melakukan kerja pengurangan risiko bencana sebelum gempa besar terjadi. Upaya pengurangan risiko gempa ini memerlukan biaya. Namun menurut Bank Dunia, dengan 1 dollar permbiayaan pengurangan risiko bencana, kita dapat menyelamatkan 7 dollar anggaran perbaikan dan pemulihan bencana.

Adalah sebuah “blessing in disguise” atau berkat dalam malapetaka, ketika kita diingatkan oleh alam semesta kisah gempa di Sumedang di akhir tahun 2023 dan kisah gempa yang sama atau lebih merusak di Ishikawa Jepang di awal tahun 2024. Semoga kita semua bisa kembali menghadirkan Amanat Pembukaan UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tidak ada salahnya mengingatkan, menyadarkan dan membangunkan dari tidur semua yang alpa akan risiko gempa perkotaan yang bisa terjadi kepada saya, anda, kita dan semua keluarga kita. Salam Tangguh untuk Kota Tangguh.

*USAID KUAT adalah program penguatan mitigasi bencana untuk mendukung pengurangan korban jiwa, korban luka, kerugian harta benda, gangguan sosial dan ekonomi di kawasan perkotaan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Program ini didanai oleh Badan Pembangunan International Amerika Serikat (USAID) dan diimplementasikan oleh Miyamoto International, Catholic Relief Services, dan Wahana Visi Indonesia dengan bermitra Bersama KADIN Indonesia, BPBD DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Forum PRB DKI Jakarta, LPBI NU Jabar dan Yayasan Skala Indonesia.

Penulis: Victor Rembeth/USAID KUAT