Dalam setiap peristiwa bencana, manusia sering kali mencoba mencari jawaban cepat tentang siapa yang harus bertanggung jawab. Alih-alih memahami akar penyebabnya, kecenderungan ini melahirkan praktik mencari kambing hitam sebuah pola yang berulang sepanjang sejarah. Dari wabah penyakit di masa lalu hingga krisis lingkungan modern, selalu ada kelompok atau pihak yang disalahkan, meskipun kenyataannya bencana tidak pernah sesederhana itu.
Praktik pengkambing hitaman dapat ditelusuri sejak zaman kuno, ketika seekor hewan sering kali kambing secara simbolis dibebani dosa atau kemalangan sebuah kelompok lalu diusir, dengan harapan masalah yang menimpa turut hilang bersamanya.
Seiring berjalannya waktu, konsep ini bergeser: bukan lagi hewan, melainkan individu atau kelompok tertentu yang dijadikan “kambing hitam” setiap kali krisis melanda. Secara psikologis, dorongan ini lahir dari rasa takut, ketidakamanan, dan kebutuhan manusia untuk menciptakan keteraturan di tengah kekacauan.

Kambing Hitam Bencana dalam Sejarah
Dalam kerangka ini, teori mimetik René Girard memberi penjelasan bahwa tekanan dan konflik kolektif sering memicu persaingan serta saling menyalahkan, hingga akhirnya masyarakat mencari satu pihak yang bisa dituding.
Fenomena tersebut kerap muncul dalam konteks bencana alam atau peristiwa cuaca ekstrem, hal ini tak hanya menunjukan cara manusia menghadapi ketakutan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana narasi bencana dibentuk oleh politik, budaya, dan kepentingan tertentu.
Alicia Schrikker, seorang sejarawan asal Universitas Leiden, dalam salah satu kumpulan esainya mengisahkan bagaimana Sultan Ternate pada abad ke-19, Muhammad Zain, menafsirkan kejadian gempa bumi yang mengguncang wilayahnya. Gempa tidak dipandang sebagai fenomena alam semata, melainkan sebagai ujian dari Allah yang lahir akibat penyimpangan moral manusia. Pandangan ini menunjukkan betapa kuatnya tafsir religius dalam memaknai bencana pada masa tersebut.
Berangkat dari keyakinan itu, Sultan merasa perlu mencari sumber penyimpangan yang dianggap memicu murka Tuhan. Pencarian itu akhirnya berhenti pada seorang bernama Buniau, yang dituduh melakukan hubungan terlarang dengan ayah mertuanya. Tuduhan ini bukan hanya soal moral pribadi, melainkan ditarik menjadi penjelasan kolektif atas kejadian yang dirasakan seluruh masyarakat.

Dalam pandangan Sultan, dengan menunjuk dan menyingkirkan pelaku penyimpangan, masyarakat bisa menebus kesalahannya dan meredakan kemarahan Tuhan. Karena itu, Sultan meyakinkan rakyat untuk mengusir Buniau bersama putrinya dari lingkungan mereka. Tindakan ini memperlihatkan bagaimana pengkambinghitaman bekerja sebagai mekanisme sosial untuk mengembalikan rasa keteraturan di tengah bencana yang sedang terjadi.
Baca juga: Cara Sultan Ternate Menunjukan Kekuasaan, Bertahan dalam Kondisi Kebencanaan
Sebenarnya banyak cerita lokal serupa yang selalu mencari kambing hitam dari setiap kejadian yang terjadi, terutama di Indonesia yang menjunjung nilai moral dan agama tinggi, namun pencatatannya yang cenderung sedikit dan hanya berakhir dari mulut ke mulut, dan tidak sampai berujung pada tindak pengusiran, maka cerita-cerita ini akan mereda sendiri.(Kori/Nugrah)