Bencana Alam Berujung Kecelakaan Teknologi Berkepanjangan di Jepang

Ilustrasi kegagalan teknologi, Foto: Thinsktock
Ekspedisi Jawadwipa

Kecelakaan teknologi akibat kejadian becana alam merupakan salah satu dampak yang dapat ditimbulkan dari suatu kejadian tersebut. Pada tanggal 11 Maret 2011, pukul 05:46:24 UTC, gempa bumi berkekuatan 9,0 SR terjadi di dekat pantai timur Honshu, Jepang. Pusat gempa terletak sekitar 80 mil (130 km) di sebelah timur kota Sendai, prefektur Miyagi, dan fokusnya terjadi pada kedalaman 18,6 mil (sekitar 30 km) di bawah dasar Samudra Pasifik bagian barat. 

Gempa bumi ini disebabkan oleh pecahnya bentangan zona subduksi yang terkait dengan Palung Jepang, yang memisahkan Lempeng Eurasia dari subduksi Lempeng Pasifik. (Beberapa ahli geologi berpendapat bahwa bagian Lempeng Eurasia ini sebenarnya merupakan fragmen dari Lempeng Amerika Utara disebut Mikro lempeng Okhotsk).Gempa bumi tersebut menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang hingga 38,9 m. Tsunami tersebut terpantau di seluruh Samudra Pasifik dan menyebabkan kematian tambahan di Indonesia dan California, AS.

Jumlah resmi korban tewas atau hilang akibat bencana tersebut adalah sekitar 18.500, meskipun perkiraan lain menyebutkan jumlah korban terakhir sedikitnya 20.000. Dari jumlah tersebut, kurang dari 100 berasal dari prefektur selain Iwate, Miyagi, dan Fukushima. Prefektur Miyagi mengalami kerugian terbesar, dengan sekitar 10.800 orang tewas atau hilang dan 4.100 lainnya luka-luka. Sebagian besar korban tewas karena tenggelam akibat gelombang tsunami.

Bencana Alam Berujung Kecelakaan Teknologi

kecelakaan teknologi
Tsunami di Jepang pada Maret 2011, Foto: Dok. Kompas.com/AP

Jepang merupakan salah satu negara yang paling siap menghadapi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami. Berbagai upaya mitigasi telah diterapkan secara baik dan terstruktur, mulai dari pembangunan pemecah gelombang besar dan tanggul pantai di wilayah pesisir, pengembangan prosedur evakuasi yang terstruktur, hingga pemasangan pengeras suara dan sistem transmisi radio untuk menyampaikan peringatan dini kepada masyarakat 

Namun kesiapan teknologi tinggi tidak serta-merta membuat Jepang kebal terhadap kegagalan. Bencana gempa bumi dan tsunami dahsyat pada 11 Maret 2011 menjadi bukti nyata bahwa skenario terburuk bisa melampaui perencanaan manusia. Salah satu dampak paling serius adalah terjadinya kebocoran di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Meskipun reaktor telah dilengkapi sistem pengaman canggih, gempa berkekuatan 9,0 SR dan tsunami setinggi lebih dari 10 meter menghancurkan sistem pendingin reaktor, memicu ledakan hidrogen, dan menyebabkan kebocoran radiasi dalam skala besar.

kecelakaan teknologi
Kecelakaan teknologi akibat bencana alam di Fukushima, Foto: Dok. BBC.com

Dampak kecelakaan teknologi ini menjadi berkepanjangan, karena industri perikanan Jepang menjadi rusak berat karena kekhawatiran kontaminasi zat radioaktif di udara dan laut dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Penelitian mengatakan jika kebocoran ini berpengaruh pada ikan-ikan kecil dan plankton. Dikutip dari National Geografic bahwa, lima bulan pasca bencana, Fisher of Stony Brook University di New York meneliti Pacific bluefin tuna yang ditangkap di lepas pantai San Diego. Dari 15 tuna yang tertangkap, semuanya mengandung cesium-134 dan cesium-137. 

Karena adanya kekhawatiran terhadap potensi paparan radiasi, pemerintah memberlakukan larangan terbang dalam radius 30 kilometer dari fasilitas nuklir tersebut. Selain itu, area daratan dalam radius 20 kilometer dari lokasi pabrik yang mencakup hampir 600 kilometer persegi juga dikosongkan melalui proses evakuasi.Dalam beberapa hari setelah kejadian, sekitar 47.000 warga terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka. Penduduk yang tinggal di wilayah sekitar zona evakuasi sejauh 20 kilometer juga mulai bersiap-siap untuk meninggalkan daerah tersebut. 

Radiasi yang dilepaskan oleh PLTN Fukushima Daiichi sebagian besar terkonsentrasi di Jepang dan di atas Samudra Pasifik. Studi tersebut mengutip perkiraan bahwa 80 persen radiasi yang dilepaskan mengendap di lautan dan 20 persen lainnya sebagian besar tersebar dalam radius 50 km di sebelah barat laut PLTN di Prefektur Fukushima. Meskipun risiko kanker bagi manusia akibat paparan radiasi dari kebocoran di atas Samudra Pasifik diperkirakan sangat rendah, sejumlah kecil partikel radioaktif tetap terdeteksi hingga mencapai wilayah Amerika Utara, terutama di beberapa area di pesisir barat laut Amerika Serikat.

Baca juga: Tsunami, Mari Pahami Seluk Beluknya

Jepang selalu dapat pulih lebih cepat saat terjadi bencana, namun kecelakaan teknologi yang terjadi akibat guncangan gempa menjadikan Jepang memberikan dampak jangka panjang kepada negara-negara sekitarnya serta memberi kekhawatiran sebagian besar manusia tentang pencemaran lingkungan.(Kori/Nugrah)