Di timur Flores, Nusa Tenggara Timur, gagah berdiri sepasang gunung berapi: Lewotobi Laki-laki dan Lewotobi Perempuan. Namun, dalam kisah ini, kita akan menelusuri jejak sejarah dan legenda sang penopang perkasa, Gunung Lewotobi Laki-laki, yang telah menjadi saksi bisu peradaban dan penjaga kehidupan di tanah Lamaholot.
Akar Kehidupan dan Keyakinan Leluhur
Jauh sebelum catatan sejarah modern ditulis, lereng subur Lewotobi Laki-laki telah menjadi rahim bagi peradaban awal masyarakat Lamaholot. Suku-suku kuno, dengan kearifan lokal yang mendalam, memandang gunung ini bukan sekadar gundukan tanah raksasa, melainkan manifestasi kekuatan ilahi, “Apu Gete” atau leluhur agung yang mengawasi mereka. Puncak yang sering diselimuti awan dan gemuruh sesekali dari perutnya diyakini sebagai suara para leluhur yang berinteraksi dengan dunia manusia.
Masyarakat adat percaya bahwa Lewotobi Laki-laki adalah simbol maskulinitas, kekuatan, dan perlindungan. Ritual-ritual persembahan sering dilakukan di kaki atau lerengnya, memohon kesuburan tanah, hasil panen melimpah, dan perlindungan dari bencana. Lava dan abu vulkanik yang dimuntahkan gunung ini, meskipun kadang membawa kehancuran, juga membawa berkah kesuburan yang tak ternilai bagi tanah pertanian di sekitarnya. Ini menciptakan siklus kehidupan-dan-kematian yang sakral, membentuk pandangan hidup dan filosofi masyarakat.
Lewotobi Erupsi Sebagai Titik Balik

Sepanjang sejarahnya, Lewotobi Laki-laki telah menunjukkan kekuatannya melalui serangkaian erupsi. Salah satu erupsi yang paling diingat dalam ingatan kolektif, meski waktu pastinya sulit dipastikan secara presisi oleh tradisi lisan, adalah letusan dahsyat yang mengubah lanskap dan memaksa komunitas berpindah. Kisah-kisah turun-temurun menceritakan tentang langit yang gelap oleh abu, sungai-sungai lava yang mengalir perlahan, dan ketakutan yang mencekam.
Namun, dari kehancuran itu lahirlah adaptasi. Masyarakat belajar membaca tanda-tanda alam, membangun pemukiman di lokasi yang lebih aman, dan mengembangkan sistem pertanian yang tahan banting terhadap dampak erupsi. Erupsi bukan hanya bencana, melainkan juga guru yang mengajarkan ketahanan dan penghormatan mendalam terhadap alam. Beberapa desa bahkan mengklaim bahwa mereka adalah keturunan langsung dari para penyintas erupsi besar, membawa serta pengetahuan dan kisah-kisah heroik tentang bagaimana leluhur mereka menghadapi amukan sang gunung.
Penjaga Perjalanan Perdagangan dan Interaksi

Pada masa-masa selanjutnya, terutama ketika jalur perdagangan rempah mulai ramai, Lewotobi Laki-laki menjadi penanda penting bagi para pelaut dan pedagang yang melintasi perairan Lamaholot. Siluetnya yang khas menjadi mercusuar alami, membimbing kapal-kapal yang sarat dengan komoditas berharga. Wilayah di sekitar gunung juga menjadi titik temu budaya, di mana pengaruh dari luar mulai bersentuhan dengan tradisi lokal, membawa perubahan namun juga memperkaya khazanah budaya Lamaholot.
Simbol Ketahanan dan Identitas Modern
Hingga hari ini, Gunung Lewotobi Laki-laki tetap menjadi simbol kebanggaan dan identitas bagi masyarakat Lamaholot. Meskipun teknologi modern memungkinkan pemantauan aktivitas vulkanik, penghormatan terhadap “Apu Gete” tak pernah lekang. Ia adalah penjaga yang tak pernah lelah, pengingat akan kekuatan alam, dan warisan tak benda yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Setiap kali gemuruh terdengar atau asap membubung, ia tidak hanya mengingatkan akan potensi bahaya, tetapi juga ikatan abadi antara manusia dan tanah leluhur mereka yang dijaga oleh Sang Lewotobi Laki-laki.
Baca juga: Gunung Lewotobi Kembali Erupsi
Kisah Lewotobi Laki-laki adalah kisah tentang ketahanan, adaptasi, dan penghormatan mendalam terhadap alam. Ia adalah monumen hidup yang menceritakan sejarah peradaban, keyakinan, dan perjuangan masyarakat Lamaholot dalam harmoni dengan alam di sekitarnya.(Rini/Nugrah)