Julukan Africa from Java menjadi nama yang disandang oleh Situbondo, sebab di daerah ini terdapat savana luas layaknya afrika di Taman Nasional Baluran. Tak hanya Baluran, Situbondo memiliki banyak sekali potensi alam yang bisa dijadikan alternatif untuk destinasi wisata. Contohnya saja perjalanan kesepuluh pemuda dalam tim Ekspedisi JawaDwipa (EJD) di wilayah Situbondo yang banyak menemukan pemandangan indah saat menyusuri jejak bencana.
Desa Sumberwaru, tempat dimana Taman Nasional Baluran berada ternyata memiliki jejak gempa. Tim tim EJD berkunjung ke Desa Sumberwaru dan bertemu dengan Imam Anshari selaku Kepala Desa Sumberwaru. Imam menyatakan bahwa wilayah ini pernah diguncang gempa pada 9 September 2007. Warga Desa Sumberwaru mengalami kepanikan saat gempa terjadi, namun tidak ada kerugian material maupun korban jiwa. Kemudian selang sebelas tahun kemudian gempa yang terjadi kembali pada 11 Oktober 2018. Gempa ini menimbulkan keretakan pada beberapa rumah warga. Kerusakan yang lebih parah justru ditemukan di Desa Kedunglo, Kecamatan Asembagus.
Ancaman gempa tidak begitu terasa, justru bencana yang paling sering terjadi adalah banjir rob.
“Biasanya bencana banjir rob ini terjadi di bulan satu dan dua, banjir rob sudah dianggap bagi masyarakat” kata Imam.
Terkadang banjir juga terjadi akibat luapan air dari pendangkalan danau saat musim hujan tiba.
“Ada juga ‘Curak’, seperti sungai musiman, kalau hujan airnya meluap lari ke rumah warga setempat” tambah Imam.
Warga sudah mencoba menanggulangi banjir dengan membuat tanggung pada Curak tersebut, tetapi belum selesai sepenuhnya. Maka dari itu, kalau terjadi hujan dengan intensitas tinggi, air akan meluap ke arah pemukiman di Dusun Sidomulyo Karangtekok, Desa Sumberwaru.
Situbondo, Berwisata Mencari Jejak Bencana
Perjalanan tim EJD dilanjutkan ke Dusun Sidomulyo Karangtekok dan bertemu dengan Pak Ahmad Junaedi selaku Kepala Dusun Sidomulyo Karangteko. Di dusun ini kami melihat Curak yang menjadi sebab permasalahan banjir. Saat sampai di sana, tersuguh pemandangan indah padang luas bergelombang yang ditumbuhi beberapa pepohonan hijau. Kami tidak menyangka bahwa padang indah ini adalah sumber bencana bagi warga kala musim hujan.
Beberapa masyarakat mengartikan kata Curak sebagai jurang. Bila mengamati kembali keterangan warga mengenai Curak dapat analogikan bahwa curak merupakan sebuah cekungan yang menampung air pada musim hujan. Namun proses sedimentasi membuat cekungan ini mendangkal. Terlebih banyak pembangunan rumah di sekitarnya mempercepat laju sedimentasi yang berakibat banyak rumah terdampak akibat luapan air yang memenuhi Curak ketika musim hujan tiba.
Tak jauh dari lokasi, tim EJD melangkahkan kakinya menuju ke Yayasan Museum Balumbung, Situbondo. Disini kami bertemu dengan Pak Agung Haryanto selaku Sekretaris Yayasan Museum Balumbung Situbondo. Museum ini merupakan bekas rumah tradisional Madura, rumah ini dikenal dengan sebutan Tabing Tongkok yang berarti tabing yang bertengger.
Kalau Sobat DC ingin pindah rumah tetapi meminimalisir budget yang dikeluarkan, rumah tabing tongkok inilah solusinya, sebab rumah tersebut bisa dipindahkan. Rumah ini memiliki pengikat material yang terbuat dari pasak kayu dan bisa diangkat sewaktu-waktu bila ingin dipindahkan. Menurut Haryanto rumah tabing tongkok dipercaya tahan terhadap gempa dikarenakan bahan pengikat materialnya berupa pasak. Ketika terjadi gempa struktur bangunan tabing tongkok mengikuti gerak tanah. utuh penelitian lebih lanjut terkait pembuktian hal tersebut.
Baca juga: Pantai Pulau Merah dan Jejak Cerita Tsunami-nya
Pemandangan Gunung Baluran, padang savana, curak, rumah tabing tongkok dan koleksi benda-benda di Museum Blumbungan menjadi sebuah daya tarik tersendiri untuk menjelajah sisi lain Situbondo. Sesekali berwisata mencari jejak bencana ke tempat tak biasa patut dicoba untuk mendapatkan sensasi yang lain, yang lebih dari sekedar berwisata.
Penulis : Raja Ahmad Namora S.
Editor : Lien Sururoh