Lenggak-lenggok warga asing yang sibuk membawa papan surfing menjadi pemandangan yang rutin disaksikan di Pantai Pulau Merah. Pesona berbeda dari Pantai Pulau Merah ini adalah keberadaan bukit hijau kecil dengan tanah berwarna merah di dekat bibir pantai yang menambah unik pemandangan. Perpaduan pemandangan warna langit senja dan suara deburan ombak menjadi sebuah resep obat mujarab untuk sobat DC healing dari stres yang membelenggu diri.
Jalan-jalan disasterchannel.co tidak akan lengkap bila tidak mengulik persoalan bencana. Di Pantai Pulau Merah, kesepuluh pemuda yang tergabung dalam Ekspedisi JawaDwipa menemukan banyak cerita mengenai tsunami yang pernah melanda pesisir selatan Banyuwangi.
Jejak Cerita Tsunami di Pantai Pulau Merah
Setelah sarapan pagi dengan view Pantai Pulau Merah yang cantik ini, kami keliling dan bercakap dengan beberapa warga, salah satunya adalah Patemi. Nenek berusia 76 tahun ini pernah tergulung ombak tsunami yang terjadi pada tahun 1994.
Patemi adalah penjual ikan kecil di Dusun Pancer, pada malam Jumat Pon 2 Juni 1994 sesaat sebelum tsunami terjadi ia sedang menghitung penghasilan penjualan ikan karena tidak bisa tertidur. Awalnya Patemi terkaget karena di pelataran rumahnya tiba-tiba tergenang air. Kemudian ia membangunkan anak-anaknya dan bertanya dari mana kemungkinan air ini berasal. Mereka menduga air ini dari Gunung Tumpang Pitu, namun Patemi merasakan air yang tergenang terasa asin yang artinya air berasal dari laut.
Saat ia dan anak-anaknya berada di pelataran rumah, terdengar suara gaduh pohon yang terhantam dan jatuh. Tak lama gelombang lebih besar datang, Patemi dan anak-anaknya digulung ombak yang lamanya sekitar dua menit. Ketika hempas gelombang besar itu, Patemi selamat karena sempat meraih pohon pisang yang melintas di hadapannya. Keluarganya ada yang tertimpa bangunan rumah, ada pula yang menyelamatkan diri dengan naik pohon kelapa, beruntung semua keluarganya selamat.
“Waktu gelombang besar yang kedua, semua gelap tidak bisa melihat apa-apa. Tapi air surut cepat. Setelah itu semua mengungsi ke gunung, semua bingung, banyak yang nangis” kata Patemi.
Saat itu tidak ada yang tahu bahwa gelombang air yang menghempas pesisir selatan Banyuwangi adalah peristiwa tsunami. Patemi berkata “Dulu ndak ada tsunami, kita bilang segoro munggah”.
Setelah bencana tsunami terjadi, mereka mengungsi di area pegunungan. Pada pagi harinya, bantuan mulai berdatangan. Seluruh pengungsi yang sebagian besar nelayan mengandalkan bantuan untuk bertahan hidup. Beberapa bulan kemudian pemerintah membangun hunian tetap untuk para korban rumah rusak di Dusun Roworejo yang dahulu daerah ini adalah rawa, kemudian dijadikan lahan pemukiman warga.
Baca juga: Cerita Lain Dibalik Indahnya Pantai Rajegwesi, Banyuwangi
Perlahan wilayah pesisir selatan Banyuwangi mulai pulih dan bangkit. Seperti saat ini, Pantai Pulau Merah begitu ramai pengunjungnya, selain itu wilayah ini juga terkenal dengan hasil bumi berupa buah naga yang tak kalah tersohornya. Tak ingin melupakan sejarah, bencana yang terjadi diabadikan oleh warga dengan membuat tugu peringatan tsunami di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
Penulis: Lien Sururoh