Lokasi Batavia adalah pusatnya garis pantai menghadap teluk besar dan muara Sungai Ciliwung di pantai barat laut Pulau Jawa. Jakarta sudah terkenal dari 500 tahun yang lalu, dahulu disebut Kota Sunda Kalapa, Jayakarta Sunda atau Jayakarta, disebut juga Batavia dan sekarang disebut sebagai Jakarta. Dahulu Jakarta merupakan bandar terbesar di daerah Sunda, atau wilayah barat Pulau Jawa. Batavia didirikan sebagai pelabuhan penghubung dan pangkalan militer Dutch United East India Company pada 1619 untuk mengamankan perdagangan antar daerah di Asia.
Dalam buku Hikayat Jakarta terdapat kalimat yang menggambarkan keadaan sungai Ciliwung pada masa itu. Dituliskan bahwa pengunjung-pengunjung Belanda menyatakan bahwa kota Sunda Kelapa adalah kota yang dibangun seperti kebanyakan kota-kota lainnya di Pulau Jawa, yaitu rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Sebuah sungai mengalir indah berair jernih dan bersih mengalir di tangah kota, airnya segar dan menyenangkan.
Sungai Ciliwung adalah salah satu sungai yang menghubungkan Laut Jawa dan pusat alluvial fan (sedimen yang berbentuk kipas). Dahulu daerah pusat Jakarta yang disebut Weltevreden di zaman kolonial yang terletak di perbatasan kipas aluvial dan delta. Dua jenis bentuk lahan alluvial menyambung disana, tepi-tepi kipas aluvial tingginya sekitar 5 hingga 10 meter dan dataran rendah delta kurang dari 3 meter di atas permukaan laut.
Di bawah kepemimpinan Jan P. Coen, ia mulai membangun benteng dan fasilitas untuk militer dan perdagangan di muara Sungai Ciliwung pada tahun 1619 setelah kehancuran pusat perdagangan pribumi, Jayakarta. Setelah kota mulai dibangun dan berkembang, pada 1699 terjadi gempa bumi yang menghancurkan beberapa banguan. Keadaan diperparah dengan meletusnya Gunung Salak. Sejumlah besar endapan dari longsoran lahan melanda sungai dan saluran air di Batavia dan sekitarnya. Garis pantai banyak berpindah ke laut karena mengirimkan sedimen.
Cerita Gempa Tahun 1699 Yang Mengalir Dari Aliran Sungai Ciliwung
Diceritakan oleh Tommagon Porbo Nata salah satu saksi kejadian gempa dan meletusnya Gunung Salak kala itu, kemudian ceritanya ditulis oleh Witsen, ia menceritakan betapa porak porandaknya wilayah Sungai Ciliwung pasca gempa dan erupsi Gunung Salak. Dalam tulisannya menyebut bahwa longsor terjadi dan menumpuk pepohonan yang tergeletak di sungai tersebar dan berdekatan, sehingga mustahil rasanya untuk membayangkan bagaimana mereka datang.
Tak hanya terjadi di Sungai Ciliwung saja penumpukan atau sedimentasi material longsor dan vulkanik, tetapi Sungai Cisadane di Tangerang juga mengalami hal yang sama. Sungai Cisadane juga dipenuhi pepohonan, tetapi kuantitasnya tidak sebesar dan sepadat sungai di Batavia. Digambarkan pula dalam cerita itu bahwa di antara Sungai Batavia (Sungai CIliwung) dan Sungai Tangerang (Sungai Cisadane) terlihat tanah-tanah disekitarnya terbelah dengan celah-celah besar selebar lebih dari satu kaki.
Pasca gempa dan letusan Gunung Salak, terjadi kerusakan yang cukup masif melanda Batavia. Segera setelah letusan Gunung Salak, peraturan setempat memerintahkan pemilik rumah dan penyewa untuk mengeruk kanal dan sungai di depan rumahnya dengan biaya milik sendiri, karena semua kanal terisi dengan tanah dan pasir. Otoritas mulai mengambil sejumlah pengerukan pekerja dari wilayah lain dan domain tetangga di Jawa.
Sungai Ciliwung, alirannya menjadi saksi betapa dahsyatnya bencana gempabumi dan letusan Gunung Salak di tahun 1699. Catatan sejarah ini perlu kita jadikan sebagai pembelajaran dalam menghadapi ancaman bencana geologi yang mengintai wilayah Jakarta.
Penulis: Lien Sururoh
Sumber:
Hiroko, Matsuda (2014) Batavia facing tropical sedimentation: The water management of the Dutch colonial city in the Asian monsoon tectonic zone. In: 23rd International Conference of Historians of Asia 2014 (IAHA2014), 23 – 27 August 2014, Alor Setar, Kedah, Malaysia.
Nata, T. P. (1700). IV. A relation of the had condition of the mountains about the Tungarouse and Batavian Rivers, having their source from thence, occasioned by the earthquake between the 4th and 5th of January, 1699. Drawn up from the account given by the Tommagon Porbo Nata, (who hath been there) and sent to the Burgermaster Witsem, who communicated it to the R. Society of which he is a member. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, 22(264), 595-598.
A. Hanna Willard. 1988/ Hikayat Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta