Rumphius memiliki nama asli Georg Eberhard Rumpf, namun ia lebih terkenal dengan sebutan nama latinnya yaitu Georgius Everhardus Rumphius, atau biasa disebut Rumphius. Ia lahir di Wölfersheim, Jerman, pada tahun 1627 dari seorang ayah berdarah Jerman dan ibu berdarah Belanda.
Riuh suara langkah kaki ratusan orang terdengar ketika mereka dengan serentak keluar dari kereta yang berhenti di stasiun Bogor. Sepasang di antara ratusan kaki itu terus menjelajah Kota yang dulu disebut Buitenzorg pada zaman Belanda. Salah satu bangunan di pinggir jalan seolah memiliki gaya magnet kuat yang membuat sepasang kaki ini menghampirinya. Bila dilihat dari luar, bangunan ini amat sederhana, begitu sepi, hanya ada daun-daun berguguran di area halaman depan. Di bagian depan bangunan terdapat gapura tertulis besar nama “MUNASAIN”, nama ini adalah singakatan dari Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia.
Kaki menjelajah menelusuri setiap jengkal koleksi museum. Kemudian kaki ini berhenti lama tepat di depan sebuah buku besar yang berjudul “Herbarium Amboinense”. Dari kenampakannya buku ini berumur amat panjang. Tepat di samping buku besar tertera huruf-huruf yang besar dan tebal bertuliskan “RUMPHIUS”. Sepasang mata ini kemudian membaca rangkaian kata demi kata yang menceritakan sosok dalam tulisan itu. Perjalanan menyusuri lorong seolah terasa seperti sedang menapaki kisah hidup sosok ahli botani yang mendiami tanah Ambon ini.
Rumphius, Ahli Botani Pengabadi Kisah Gempa dan Tsunami
Rumphius muda mendapatkan pendidikan yang baik, sehingga pada usia 18 tahun ia direkrut oleh Republik Venesia. Setelah itu, ia ikut kapal di Holland, tetapi ternyata ia dan kawan-kawan sekapal ditipu. Mereka dikontrakkan ke West Indische-Compagnie (WIC) untuk pergi ke Pernambuco, daerah di bagian timur-laut Brazil. Namun takdir tidak pernah membawanya sampai ke sana.
Pada usianya yang ke seperempat abad, ia masuk dinas militer Belanda, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Dagang Hindia Timur. Pada tahun 1652, ia menemui takdirnya untuk diberangkatkan ke ibu kota kolonial Belanda di Batavia (Jakarta). Pria berdarah campuran Jerman Belanda ini berlayar selama enam bulan ke Jawa sebagai tentara. Selepas beraktivitas di Jawa, tak lama kemudian Rumphius ditugaskan ke Kota Ambon, tempat pos perdagangan Belanda. Tidak ada yang menyangka bahwa ia akan menetap lama di Ambon dan menorehkan sejarah di sana.
Prajurit VOC ini sangat menikmati masa-masa mudanya hidup di tanah Ambon. Hingga suatu ketika ada seorang gadis Ambon keturunan Tionghoa bernama Susanna mengenalkannya bunga anggrek. Bagai indahnya bunga anggrek yang mekar, kisah cinta antara Rumphius dan Susanna terus berkembang hingga pelaminan.
Kekayaan alam wilayah Ambon yang begitu indah, membuat Rumphius begitu gemar mempelajari botani yang ada di sana. Ia pun dibebaskan dari tugas militer dan menjabat sebagai juru beli (Koopman). Di sela-sela tugasnya, ia melakukan berbagai pengkajian tentang botani dan zoologi serta menulis berbagai macam buku. Namun faktanya, hanya satu tulisan Rumphius yang di terbitkan ketika ia masih hidup. Tulisan yang diterbitkan adalah laporan yang berjudul “Waerachtigh Verheal van der Schierlijke Aerdbevingne” yang berarti “Kisah Nyata tentang Gempa Bumi yang Dahsyat”.

Ahli botani asal Belanda ini mengalami peristiwa amat besar dalam hidupnya. Pada 17 Februari 1674, langit kala itu tampak begitu cerah, Rumphius, Susanna, dan putri mereka berjalan-jalan untuk menyaksikan perayaan Imlek di Kota Ambon. Kala itu Susanna bersama putrinya mampir ke sebuah toko, sedangkan Rumphius menunggu mereka di luar. Tiba-tiba terasa guncangan gempa dahsyat di sekitar wilayah tepat mereka berpijak. Semua bangunan dan rumah yang berdiri kokoh seketika luluhlantak. Gempa ini menewaskan istri dan putri Rumphius.
Kesedihan mengelabui Rumphius, namun ia tetap tegar hingga sanggup menyelesaikan laporan catatan penting mengenai gempa. Bersama rasa kehilangan, Rumphius menulis laporan berisi kisah pilu dan dampak bencana yang terjadi dengan dibantu penulis lainnya.
Dalam laporannya tertulis, pada tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar pukul setengah tujuh, di bawah bulan yang indah dan cuaca yang tenang, seluruh Provinsi kita – yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, daerah ini mengalami guncangan yang begitu mengerikan sehingga kebanyakan orang yakin bahwa Hari Penghakiman telah tiba.
Lonceng di Kastil Victoria di Leytimor berdentang sendiri, dan orang-orang yang berdiri di sekitar berbicara satu sama lain, jatuh satu sama lain atau terguling saat bumi naik turun seperti Laut. Air naik ke ketinggian 4 sampai 5 kaki, dan beberapa sumur yang dalam terisi begitu cepat sehingga orang bisa mengambil air dengan tangan, sementara saat berikutnya sumur itu kosong lagi. Pantai timur Sungai Waytomme terbelah dan air menyembur, setinggi 18 hingga 20 kaki, melemparkan pasir berlumpur biru.
Baca juga: Sulawesi dan Garis Wallace yang Menentukan Perbedaan Fauna
Semua orang berlari ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu Gubernur dan kompi besar. Dia memimpin majelis dalam doa di bawah langit yang cerah. Getaran dahsyat berlanjut sepanjang malam, sehingga tidak ada yang diberikan kedamaian selama setengah jam. Sebagian besar kejutan datang dari bumi seolah-olah balok besar mengenai telapak kaki kami, dan bagi mereka yang ingin mendengarkan lebih dekat, seseorang dapat dengan jelas mendengar air mengalir di bawah tanah.
Bangunan batu yang tersisa telah rusak parah, sehingga pemiliknya tidak lagi berani tinggal di dalamnya. Dan orang-orang melarikan diri dari rumah mereka dan menghabiskan malam di bawah langit yang cerah dan gelap atau di gubuk-gubuk kecil.
Kerusakan yang dialami pantai ini diceritakan dari tempat ke tempat. Bencana ini menyebabkan kematian lebih dari 2.243 Orang, yang mencakup 31 orang Eropa, dengan total 2.322 korban. Data ini menjadi penutup laporan Rumphius.
Hidup Rumphius begitu berat, bahkan mungkin Dilan pun tak sanggup memikulnya. Di saat ia begitu cinta meneliti berbagai botani asal Ambon, penglihatannya harus direnggut oleh penyakit glukoma. Kemudian ia harus kehilangan anak dan istrinya akibat gempa. Naskah berisi tulisan miliknya pun harus direlakan habis dilalap api ketika terjadi kebakaran besar yang melanda Ambon tanggal 11 Januari 1670. Kemalangan seolah selalu datang bertubi-tubi dalam hidup Rumphius. Hebatnya, di tengah derita yang dialami, Rumphius menorehkan sejarah sebagai pengabadi pertama kisah gempa dan tsunami yang pernah terjadi di negeri ini.
Penulis: Lien Sururoh
Editor: Nugrah Aryatama
Sumber: