Penulis: Tanty SR Thamrin (Researcher – Thamrin Working Group)
Raja Ampat, gugusan pulau di ujung barat Papua, sudah lama dikenal sebagai rumah bagi biodiversitas laut terkaya di dunia. Namun, di balik reputasinya sebagai “surga bawah laut”, wilayah ini kini dihadapkan pada tekanan serius dari ekspansi industri tambang nikel.
Pemerintah Indonesia melalui BUMN PT Aneka Tambang (Antam) Tbk—melalui anak perusahaannya PT Gag Nikel—menargetkan kawasan Pulau Gag sebagai lokasi eksploitasi sumber daya. Tambang ini disebut strategis dalam mendukung transisi energi karena nikel adalah bahan utama baterai kendaraan listrik.
Namun, ekspansi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara benar-benar mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana dijamin dalam konstitusi?
Raja Ampat Pariwisata lestari yang sudah terbukti berhasil

Selama lebih dari satu dekade, masyarakat adat dan pelaku konservasi di Raja Ampat telah mengembangkan model pariwisata berbasis komunitas yang mendukung konservasi dan distribusi manfaat yang adil. Model ini telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, menjaga ekosistem laut, dan memperkuat peran kelembagaan lokal.
Sebagian besar pendapatan dari konservasi dikelola oleh komunitas: 70% langsung dikelola masyarakat untuk program pelestarian dan kesejahteraan lokal, dan 30% disetor sebagai Pendapatan Asli Daerah. Selain itu, pelaku usaha wisata turut membayar kontribusi konservasi dan menggaji warga lokal dengan upah layak.
Sebaliknya, industri tambang seperti PT Gag Nikel memang mengklaim menyetor lebih dari Rp2,6 triliun ke negara sejak 2018. Namun, manfaat ekonomi tersebut bersifat sentralistik dan tidak secara langsung memperkuat ekonomi lokal di Raja Ampat. Yang justru dirasakan warga adalah peningkatan risiko kerusakan lingkungan, kehilangan ruang hidup, dan konflik sosial.
Negara sebagai fasilitator kapital, bukan pelindung rakyat?
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebut bahwa bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, praktik di lapangan justru menunjukkan bahwa negara kerap memposisikan diri sebagai fasilitator akumulasi modal, bukan pelindung masyarakat lokal.
Sosiolog Marxis Nicos Poulantzas menyebut bahwa negara dalam sistem kapitalis bukanlah institusi netral, melainkan arena yang mereproduksi dominasi kelas penguasa. Negara menciptakan kerangka hukum, kebijakan, dan institusi yang menguntungkan kapital, meski itu berarti mengabaikan kepentingan rakyat di wilayah-wilayah pinggiran seperti Papua.
Dalam konteks Raja Ampat, pemberian izin kepada PT Gag Nikel tidak dilandasi proses konsultasi penuh dan persetujuan bebas dari masyarakat adat yang terkena dampak langsung. Legalitas izin tambang dibentuk tanpa partisipasi bermakna dari warga pemilik hak ulayat, dan hal ini mempertegas ketimpangan dalam relasi kuasa antara negara, korporasi, dan komunitas adat.
Pendekatan alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan
Dominasi pendekatan ekstraktif dalam pembangunan nasional—seperti pertambangan—telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat adat dan lingkungan. Ketika pembangunan didesain hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi makro dan kontribusi terhadap APBN, maka aspek keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis seringkali terabaikan. Model ini juga mengabaikan fakta bahwa komunitas lokal memiliki sistem pengetahuan dan praktik tata kelola yang telah terbukti efektif dalam menjaga ekosistem.
Ketimpangan relasi kuasa antara negara, korporasi, dan masyarakat adat mencerminkan kebutuhan mendesak untuk mempertimbangkan pendekatan alternatif yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan, tetapi juga memperhatikan distribusi manfaat, perlindungan hak masyarakat, dan keberlanjutan jangka panjang. Dalam konteks inilah, penting untuk memahami bagaimana praktik-praktik negara dalam mendukung kapitalisme global berkontribusi pada marjinalisasi komunitas lokal.
Pandangan ini diperkuat oleh teori accumulation by dispossession dari geografer David Harvey. Ia menjelaskan bahwa negara sering kali berperan aktif dalam mentransfer aset-aset publik kepada kepentingan kapital melalui legalitas dan retorika pembangunan.
Sementara itu, Elinor Ostrom—peraih Nobel Ekonomi 2009—membuktikan bahwa komunitas lokal dapat mengelola sumber daya alam secara efektif dan berkelanjutan jika diberikan hak pengelolaan dan pengakuan kelembagaan. Model pariwisata komunitas di Raja Ampat mencerminkan prinsip-prinsip Ostrom: tata kelola berbasis norma sosial, sanksi internal, dan rasa kepemilikan kolektif.
Relasi kuasa yang timpang: hukum negara menekan hukum adat
Masyarakat adat Raja Ampat seperti Suku Kawei memiliki legitimasi historis dan spiritual atas tanah dan laut mereka. Dalam sistem adat mereka, laut tidak sekadar sumber pangan, tetapi bagian dari identitas kolektif dan kehidupan komunal. Praktik-praktik seperti sasi—larangan temporer terhadap pengambilan hasil laut—merupakan bentuk konservasi berbasis kearifan lokal yang terbukti efektif.
Namun, relasi ini berbenturan dengan pendekatan legal negara. Regulasi formal memberikan ruang legal bagi eksploitasi tambang tanpa mewajibkan persetujuan yang sahih dan setara dari masyarakat adat. Dalam banyak kasus, legalitas izin tambang didasarkan pada proses administratif yang tidak inklusif dan minim konsultasi publik. Akibatnya, terjadi hierarki hukum: hukum negara mendominasi, hukum adat termarginalkan. Pemerintah daerah berada di tengah tekanan—loyalitas vertikal kepada pusat berbenturan dengan tanggung jawab horizontal terhadap komunitas lokal.
Dampaknya tidak hanya administratif, tetapi eksistensial: hilangnya ruang hidup, ancaman terhadap warisan budaya, dan pemiskinan struktural. Masyarakat adat direduksi menjadi objek kebijakan, bukan subjek berdaulat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan mereka. Dalam struktur seperti ini, negara tidak lagi menjadi penengah, melainkan perpanjangan tangan dari kekuasaan ekonomi yang menjadikan masyarakat adat sebagai hambatan, bukan mitra pembangunan.
Jalan ke depan: negara harus berpihak, bukan netral

Kasus Raja Ampat menunjukkan bahwa narasi transisi energi hijau dan pembangunan nasional tidak selalu berarti berkeadilan. Jika pendekatan pembangunan hanya menekankan pertumbuhan ekonomi nasional tanpa memperhitungkan dampak lokal, maka negara secara tidak langsung sedang mengabaikan mandat konstitusionalnya.
Pemerintah harus berhenti melihat wilayah-wilayah seperti Raja Ampat semata-mata sebagai “lumbung sumber daya” yang bisa seenaknya dikonversi menjadi kawasan tambang. Negara perlu serius mengakui hak masyarakat adat terhadap pengelolaan sumber daya alam atas wilayah kelola adatnya, mendukung tata kelola berbasis komunitas, dan memastikan bahwa kebijakan pembangunan dilakukan secara partisipatif dan berlandaskan prinsip keadilan ekologis.
Baca juga: Nestapa Pekerja Tambang, Tertimbun Longsor Tambang Gunung Kuda Cirebon
Dengan mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang dan ketahanan sosial masyarakat adat, mempertahankan pariwisata lestari di Raja Ampat bukan hanya pilihan moral—tetapi juga strategi pembangunan yang rasional dan konstitusional.
Sumber:
Dari Berbagai Sumber