Kabupaten Kepulauan Mentawai dibentuk berdasarkan UU RI No. 49 Tahun 1999 dan dinamai menurut nama asli geografisnya. Kabupaten ini terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan. Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik dan gugus kepulauan itu merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut.
Pada puluhan tahun lalu Kepulauan Mentawai masih padat tutupan lahan dan hutannya. Beberapa arsip menunjukan bahwa Pulau ini ditahun 1980 an dicap sebagai Pulau yang menakutkan, dihuni oleh orang yang bertato kemudian malaria menjangkit dan hidup bersama masyarakat.
Ibukota Kepulauan Mentawai ini Hampir Pindah Karena Malaria

Dalam arsip Pos Sumatera tertanggal 25 Februari 1938, Dr. Johannsen mencatat bahwa malaria adalah penyakit yang paling banyak menyerang penduduk Mentawai, dengan sekitar 82 persen dari populasi terinfeksi. Di Pulau Siberut, sekitar 40 persen, sementara di Kepulauan Pagai, sekitar 16 persen dari penduduknya juga terjangkit. Selain malaria, penyakit lain seperti infeksi cacing tambang dan raspberry juga ditemukan, meskipun kusta belum terdeteksi.
Menyikapi situasi kesehatan yang mengkhawatirkan, Inspektorat D.V.G. (Dienst Volksgezondheid) di Medan menyarankan pemindahan ibu kota Kepulauan Mentawai dari Muara Siberut ke Pulau Pagai, mengingat tingginya tingkat malaria yang melanda daerah tersebut. Malaria yang menyerang hampir seluruh penduduk Siberut menjadi ancaman besar bagi masyarakat dan mempengaruhi stabilitas pemerintahan saat itu, sehingga pemindahan ibu kota kepulauan dianggap sebagai solusi yang tepat oleh Dinas Kesehatan Masyarakat pada tahun 1939.
Upaya untuk memberantas malaria di Kepulauan Mentawai mendapat perhatian serius dari pemerintahan kolonial, yang mengembangkan berbagai langkah untuk memerangi penyakit ini. Pada periode yang sama, masuknya agama Kristen turut membawa dampak terhadap kebiasaan masyarakat, termasuk dalam aspek pola makan, yang ini dirasa berpengaruh pada kesehatan dan hubungannya dengan pembasmian malaria.

Sagu dan umbi-umbian, yang sebelumnya menjadi makanan pokok, mulai digantikan oleh beras. Pola ajaran Kristen mulai juga mengubah perspektif masyarakat yang dalam agama sebelumnya tidak memperkenalkan penanaman beras kemudian mulai mengalami perubahan pola konsumsi makanan, dalam ajaran lama beras disebut sebagai “kineiget mukop bera”. Bera’ merupakan sebutan beras bagi masyarakat Mentawai yang dalam bahasa Minangkabau artinya “kotoran manusia”.
Baca juga: Cerita Tsunami di Mentawai: Kerentanan dalam Kerentanan
Sedangkan dalam perspektif agama kristen yang masuk saat itu, padi dianggap sebagai sumber pangan yang lebih bergizi dan memiliki manfaat lebih dalam mendukung upaya melawan malaria penyakit yang menjadi masalah kesehatan utama di wilayah tersebut. Karena nutrisi yang baik adalah obat yang ampuh dalam memerangi malaria yang mengerikan.(kori)
Sumber:
R. van der Velde. Sumatera Pos. 02 November 1940
NV De Volkskrant. 26 Juni 1980
Surat Kabar NV Mij tot Expl. 10 November 1939